Sunday 22 October 2006

Menangisi Kepergian Ramadhan?


[coffee-faste dari berlabuh_sejenak..^_^; tulisan tahun lalu yg up to date..]


Menjelang Idul Fitr dan setelahnya, orang2 mulai menangisi kepergian ramadhan. Ada yang menumpahkannya melalui artikel , puisi, ataupun dalam kesempatan kultum, bagi yg suka kultum.. Sayangnya, ada yg salah kaprah dalam menangisi kepergian tamu agung tsb. Inilah yg aku kurang sreg kedengernya ato ngebacanya.



Memang ramadhan adalah tamu agung, muslim yg baik akan sangat bergembira bisa berada dlm bulan suci itu. Walaupun mengharapkan seluruh bulan adalah Ramadhan bukanlah ajaran Islam yg shahih (hadits ttg hal itu palsu..). Nah, masalah timbul ketika kepergian ramadhan ditangisi dg berlandaskan pemahaman yg salah. Klo kita bersedih karena gak sempurna amalan ramadhannya, atau karena tidak bersungguh-sungguh mengejar Lailatul Qodar, Ok. Karena Lailatul Qodar cuma ada pas ramadhan. Tapi sayang sekali, klo kita mengungkapkan kesedihan kita dengan bahasa, "tak ada lagi malam2 padat penuh ibadat, tak adalagi kata2 terurai dalam panjangnya munajat, pun mati kering benih2 tobat..."... Tunggu dulu...
Kok kesannya klo gitu, ibadah padat kita hanya pas ramadhan ya...munajat yg panjang hanya saat bulan suci..dan rasa tobat tumbuh cuman 30 hari sebelum Idul Fitr... Gimana nih?!



Apakah kita hanya jadi muslim yg baik pas Ramadhan doang?! Kita kan g tau kapan mati, knp Qiyamul Lail cuman pas Ramadhan? Kenapa khatam Quran cuman pas Ramadhan? Kenapa banyak bertobat cuman pas Ramadhan? Sayang kan, klo kita mati bukan pas Ramadhan. Bukan pas lagi semangat2nya Qiyamul Lail, bukan lagi pas rajin2nya khatamin Quran, dan bukan pas abis tobat...


Ups, ngomongnya jadi agak berat nih... santai aja sodara sodari. Intinya, aku pribadi kurang suka aja ama yg mengungkapkan kesedihan akan perginya ramadhan dg ungkapan2 kyk di atas.. Eits, ini tidak menunjuk siapa pun lho... lagian klo pun ada yg merasa tertunjuk, aku yakin orang itu sebenarnya tetap sholat malem, tilawah quran, dll walopun ramadhan dah pergi meninggalkan. Kadang-kadang orang ga sadar lho ama makna bahasa yg mereka gunakan..


Klo menurutku sih, justru pas abis Ramadhan tuh kita bisa evaluasi diri...misalnya "pas setan2 diiket aja sebegitu lalainya, wah klo gitu pas setan2 dilepas harus lebih berusaha nih...", atau klo emang ada kemajuan ibadah pas ramadhan, "wah, ternyta sebulan bisa ya khatamin Quran, klo gitu sekarang berusaha ngatamin tiap bulan ah..". Gituh.....
Di atas itu semua, kita, umat islam basicly disuruh gembira menyambut Idul Fitr. Jadi, proporsional aja lah. Klo kata orang jepang, hodo hodo ni.


Sunday 15 October 2006

Qunut Witir

Syaikh Shalih al-Utsaimin ditanya perihal imam-imam yang suka menambahi bacaa doa qunut dari yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam sholat witir. Lalu, Syaikh menjawab bahwa hal itu diperbolehkan.
Qunut adalah saat yang dianjurkan untuk berdoa, dan setiap orang dipersilahkan untuk berdoa sesuai dengan kebutuhannya.

Lebih lanjut Syaikh al-Utsaimin menjelaskan, teks hadits mengenai bacaan qunut witir (sebagaimana diriwayatkan dari Hasan bin Ali radhiallahu `anhuma) memberikan kebebasan untuk menambah bacaan pada qunut witir. Teks yang dimaksud adalah , "Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah mengajarkanku beberapa kalimat yang bisa aku baca dalam Qunut Witir..."

[sebagaimana yg nyantol di kepala saya setelah membaca buku "Syarah Doa Qunut" Syaikh al-Utsaimin, Pustaka Imam Syafi`i ]

Syaikh al-Albani berkata : "Boleh juga doa qunut sesudah ruku' dan ditambah dengan melaknat orang2 kafir, lalu shalawat kepada Nabi shallalaahu 'alayhi wasallam dan mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin, pada pertengahan (akhir-peny) Ramadhan, karena ada dalil dari para Shahabat radhiyallahu 'anhuma di zaman Umar radhiyallahu 'anhu. [Simak Qiyamu Ramadhan hal.31-32]

Dengan berdasarkan pendapat-pendapat di atas, berikut ini saya kutipkan sebagian bacaan doa qunut imam masjidil haram (tahun 1425 H), yang mungkin pas untuk memperpanjang doa qunut witir kita di akhir ramadhan (kepanjangan? ya sebagian aja... )

AllaaHummaghfir lil muslimiina wal muslimaat, wal mu'miniina wal mu'minaat,
wa allif baina quluubiHim (dan satukanlah hati-hati mereka)
waHdiHim subulassalaam (dan tunjukilah mereka kepada jalan kelamatan)

AllaaHumma a`innaa `alal mauti wa sakrotiH,
(Ya Allah tolonglah kami ketika menghadapi kematian dan sakitnya saat-saat kematian)
wal-qabri wa zhulmatiH
(ketika di alam qubur dan dari kegelapannya),
wash-shiraathi wa zallatiH
(ketika menghadapi shiroth dan dari terperosok ketika melewatinya),
wa yaumil qiyaamati wa kurbatiH
(ketika hari kiamat dan kesusahan di kala itu)

waj`al aakhiri kalaaminaa minaddunyaa,
(dan jadikanlah akhir dari perkataan kami di dunia)
syaHaadata allaa ilaaHa illallaaH, wa anna muhammadan rasulullaaH,
wa tawaffanaa wa anta roodhin `annaa ghaira ghodhbaan.
(dan wafatkanlah kami ketika Engkau ridho kepada kami dan tidak murka)

AllaHummaghfir li jamii`a mawtil muslimiin
(Ya Allah ampunilah orang-orang yang meninggal dari kaum muslimin)

AllaHummaghrilahum , warhamHum, wa`afiHim wa`fua`anHum,
(ampunilah mereka, kasihilah mereka, beri mereka `afiat, maafkanlah mereka)
wa akrim nuzulaHum (muliakannlah tempat tinggalnya),
wa wassi` madkholaHum (lapangkanlah kuburnya),
waghsilHum bil maa-i wats-tsalji wal-barad,(bersihkan mereka dengan air , salju, dan embun )
wa jaaziHim bil hasanaati ihsaanaa, wa bis-sayyiaati `afwaw-wa ghufroonaa,
(dan balaslah kebaikan mereka dengan kebaikan, serta balaslah keburukan mereka dengan kemaafan dan ampunan)

AllaaHumma ashlih syabaabal muslimiin
(Ya Allah perbaikilah pemuda-pemuda dari kaum muslimin)
wahfazhHum minal afkaaril muharifah
(Jagalah mereka dari pemikiran yang menyimpang)
wa`shinHum minal ifraathi wat-tafriith
(peliharalah mereka dari kelalaian dan kesia-siaan)

AllaaHumma ashlih nisaa al-muslimiin
wa zayyinHunna bil hijaab
(hiasilah mereka dengan hijab)
wa jammilHunna bil hayaa', wal-`iffaati wal-ihtisyaam
(perindahlan mereka dengan rasa malu, kesucian, dan kehormatan)

AllaaHumma waffiq du`aatal islaam
(Ya Allah bimbinglah para da`i islam)
wajma` quluubaHum `alal kitaabi was-sunnah
(kumpulkanlah hati-hati mereka dg landasan al-Quran dan as-Sunnah)

AllaaHumma waffiq jamii`a wulaatil-muslimiin
(Ya Allah bimbinglah pemimpin-pemimpin kaum muslimin)
waj`alHum li syar`ika muhakkimiin
(jadikanlah mereka berhukum dengan syari`at-Mu)
wa li sunnati nabiyyika muttabi`iin
(dan mengikuti sunnah-sunnah nabi-Mu)

Allahummar-fa`il faqr, wal-jahla, wal maroodha `an `ummaatil islaam
(Ya Allah hilangkanlah kefakiran, kebodohan, dan penyakit dari umaat islam)

Selain itu kita juga bisa menambahkan doa untuk saudara-saudara kita di Palestina..

AllaaHumma anjil filisthiin, wal mustadh`afiina minal mu`miniin
(Ya Allah selamatkanlah Palestina dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin)
AllaaHummasy-dud wath-ataka `alal yahuud, waj`alhaa `alaihim siniina kasiniini Yuusuf
(Ya Allah kuatkanlah cengkeraman-Mu pada kaum Yahudi, dan timpakanlah bencana kepada mereka sebagaimana bencana yang terjadi pada zaman Nabi Yusuf)

Dan di sela-sela doa qunut yg kita baca, kita bisa menambahkan ucapan "Yaa Dzal Jalaali wal-Ikraam", sebagaimana terdapat di fikih sunnah sebagai pujian yg membantu terkabulnya doa, dan juga sering diucapkan oleh imam masjdil haram.

Wallahul-Musta`an

Sunday 1 October 2006

Pasar di Surga


Kemarin siang baca buku Rasulullah Berkisah Tentang Surga dan Neraka, dan entah kenapa, seneng bgt sama hadits yg tertulis di bawah...jadi ingin berbagi....

ternyata di surga ada pasar..

firman
Allah azza wa jalla, " Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan
Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi...." (al-Hadid:21)

SM
::lomba yuuk... mumpung ramadhan..::

----------------------------------------------------------------------
Anas bin Malik radhiallahu `anhu meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam,”Sesungguhnya
di surga terdapat pasar. Mereka mendatangi pasar tersebut setiap Jumat.
Lalu berhembuslah kepada mereka angin dari arah utara dan hembusan
angin tersebut mengenai wajah dan pakaian mereka sehingga mereka
bertambah indah dan tampan.
Kemudian
mereka pulang menemui istri-istrinya dalam keadaan semakin tampan dan
mempesona. Melihat itu, istri-istri mereka berkata, `Demi Allah, engkau
semakin bertambah indah dan mempesona setelah meninggalkan kami`.
Mereka menimpali, `Demi Allah, engkau juga semakin bertambah indah dan
mempesona setelah kepergian kami`
.” (Hr. Muslim)



Berbuka Ketika Safar? (2)

Berikut ini saya kutipkan tulisan dari buku Sifat Puasa Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam karangan Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly & Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185].


Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau" [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].


Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata : "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].


Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].


Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].


Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha' dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu.

"Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)" [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]


Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar" [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].


Peringatan :


Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].

Dan juga firman-Nya "Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui" [Al-Baqarah : 232]


Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka.

Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?" [Al-Mulk : 14].


Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo'a) : "Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]


Wallahu a`lam

NB: berbuka ketika safar di bulan Ramadhan tidak berarti meninggalkan amalan2 Ramadhan lainnya seperti tilawah dan yang lainnya ;-)

Berbuka Ketika Safar? (1)

Beberapa di antara kita mungkin memiliki pendapat bahwa berpuasa ketika safar itu lebih baik daripada berbuka. Dalil yang menjadi pegangan biasanya adalah al-Baqarah : 184, wa an tashuumuu khoirul-lakum, inkuntum ta`lamun, “dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.


Benarkah memang demikian hukum berpuasa ketika safar? Lalu bagaimana dengan potongan hadits yang –sepertinya— sering dikutip ketika membahas masalah ini, ..laisa minal birri ash-shaumu fis-safar, ”..tidaklah dari kebajikan berpuasa dalam perjalanan”.?


Pertama, mari kita coba kaji surat al-Baqarah ayat 184 di atas. Bunyi lengkap dari ayat tersebut adalah ”(yaitu) pada beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan, wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”


Allah berfirman, ”Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah mengulanginya pada hari-hari lain.” Yakni, orang sakit dan yang berpergian tidak perlu berpuasa, namun boleh berbuka dan mengqadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari lain. Adapun orang yang sehat dan berada di tempat—bila dia mau—maka berpuasalah dan bila tidak mau maka berbukalah, namun dia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka. Berpuasa lebih baik daripada memberi makan. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud dan ulama salaf lainnya.


Al-Bukhari meriwayatkan dari Salamah bin Akwa` bahwasanya ia berkata, ”Ketika ayat `dan orang-orang yang merasa berat untuk melakukannya, maka wajib baginya membayar fidyah berupa makanan kepada orang-orang miskin` ini diturunkan, maka siapa saja yang mau berbuka boleh saja asal membayar fidyah. Kemudian diturunkanlah ayat sesudahnya (185) yang menasakh (menghapus -peny-) ketentuan tadi.

(Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hlm. 287-288)

Sebagaimana terdapat dalam kutipan di atas, jelas bahwa bagian terkakhir dari ayat 184 bukan ditujukan pada orang-orang sakit maupun yang sedang dalam perjalanan. Namun ditujukan kepada kaum muslimin yang sehat dan sedang di tempatnya. Dari kutipan yang sama juga dapat kita ketahui bahwa pada masa awal diturunkannya perintah puasa, puasa tidak diwajibkan secara mutlak kepada orang yang sehat dan sedang di tempatnya. Mereka boleh berbuka (dengan membayar fidyah) jika menghendaki, namun berpuasa lebih baik untuk mereka. Namun pada akhirnya rukhshah bagi orang-orang yang sehat maupun bermukim ini dihapus dengan ayat 185 dari surat yang sama.

(bersambung..)