Sunday 1 October 2006

Berbuka Ketika Safar? (1)

Beberapa di antara kita mungkin memiliki pendapat bahwa berpuasa ketika safar itu lebih baik daripada berbuka. Dalil yang menjadi pegangan biasanya adalah al-Baqarah : 184, wa an tashuumuu khoirul-lakum, inkuntum ta`lamun, “dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.


Benarkah memang demikian hukum berpuasa ketika safar? Lalu bagaimana dengan potongan hadits yang –sepertinya— sering dikutip ketika membahas masalah ini, ..laisa minal birri ash-shaumu fis-safar, ”..tidaklah dari kebajikan berpuasa dalam perjalanan”.?


Pertama, mari kita coba kaji surat al-Baqarah ayat 184 di atas. Bunyi lengkap dari ayat tersebut adalah ”(yaitu) pada beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan, wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”


Allah berfirman, ”Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah mengulanginya pada hari-hari lain.” Yakni, orang sakit dan yang berpergian tidak perlu berpuasa, namun boleh berbuka dan mengqadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari lain. Adapun orang yang sehat dan berada di tempat—bila dia mau—maka berpuasalah dan bila tidak mau maka berbukalah, namun dia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka. Berpuasa lebih baik daripada memberi makan. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud dan ulama salaf lainnya.


Al-Bukhari meriwayatkan dari Salamah bin Akwa` bahwasanya ia berkata, ”Ketika ayat `dan orang-orang yang merasa berat untuk melakukannya, maka wajib baginya membayar fidyah berupa makanan kepada orang-orang miskin` ini diturunkan, maka siapa saja yang mau berbuka boleh saja asal membayar fidyah. Kemudian diturunkanlah ayat sesudahnya (185) yang menasakh (menghapus -peny-) ketentuan tadi.

(Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hlm. 287-288)

Sebagaimana terdapat dalam kutipan di atas, jelas bahwa bagian terkakhir dari ayat 184 bukan ditujukan pada orang-orang sakit maupun yang sedang dalam perjalanan. Namun ditujukan kepada kaum muslimin yang sehat dan sedang di tempatnya. Dari kutipan yang sama juga dapat kita ketahui bahwa pada masa awal diturunkannya perintah puasa, puasa tidak diwajibkan secara mutlak kepada orang yang sehat dan sedang di tempatnya. Mereka boleh berbuka (dengan membayar fidyah) jika menghendaki, namun berpuasa lebih baik untuk mereka. Namun pada akhirnya rukhshah bagi orang-orang yang sehat maupun bermukim ini dihapus dengan ayat 185 dari surat yang sama.

(bersambung..)

1 comment: