Sunday 1 October 2006

Berbuka Ketika Safar? (2)

Berikut ini saya kutipkan tulisan dari buku Sifat Puasa Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam karangan Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly & Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185].


Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau" [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].


Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata : "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].


Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].


Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].


Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha' dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu.

"Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)" [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]


Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar" [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].


Peringatan :


Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].

Dan juga firman-Nya "Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui" [Al-Baqarah : 232]


Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka.

Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?" [Al-Mulk : 14].


Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo'a) : "Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]


Wallahu a`lam

NB: berbuka ketika safar di bulan Ramadhan tidak berarti meninggalkan amalan2 Ramadhan lainnya seperti tilawah dan yang lainnya ;-)

2 comments:

  1. mau tanya akh, safarnya itu ada persyaratannya gak?misalnya seberapa jauh/seberapa lamanya, trus ada pengaruhnya gak mengenai tujuan dari safar itu sendiri?syukron

    ReplyDelete
  2. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa safar harus memenuhi jarak tertentu. yaitu 88,704 km (Bidayatul-Mujathid). Selain itu perjalanan tsb juga harus keluar kota, sehingga tdk dibenarkan kita muter-muter di dalam kota sejauh 90 km lalu mengatakan bhw kita telah safar.

    Adapun mengenai batas lamanya seseorang disebut musafir ada perbedaan di kalangan ulama. Namun sbgmn pernah ana dengar dari para ustadz, pendapat yg pertengahan adalah yg terbaik.

    Yaitu, apabila kita menetap di tempat tujuan, maka batas sebagai musafir adalah 4 hari. demikian Imam Malik, Syafi`i, dan Ahmad mengikuti hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam saat berhaji. Beliau selama 4 hari berturut-turut melakukan jama' dan qashar, terhitung sejak tanggal 9 hingga 12 Dzulhijjah

    Namun bila kita tdk punya tmpt tinggal tetap di tmpt tujuan, dan terus berpindah-pindah, maka kita musafir sampai kita kembali ke rumah di kota tmpt tinggal kita. Demikian Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Beliau mengatakan, "Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat"

    Adapun mengenai tujuan safarnya, para ulama berpendapat, selama bukan tujuan maksiat maka diperbolehkan. Walaupun saya juga pernah mendengar pendapat ulama yg mengatakan bhw tujuan safar tdk mempengaruhi syarat seseorang disebut musafir.

    wallahu a`lam bish-showab.

    ReplyDelete