Sunday 29 March 2009

Fatwa Syaikh al-Albani tentang Boikot Yahudi

السائل: شيخنا بما أن الحرب قائمة بيننا وبين اليهود ، فهل يجوز الشراء من اليهود ، والعمل عندهم في بلد أوروبا؟

الشيخ الألباني: الشراء من اليهود؟

السائل: نعم ، والعمل عندهم في بلد أوروبا يعني؟

الشيخ الألباني: نحن لا نفرق بين اليهود والنصارى من حيث التعامل معهم في تلك البلاد ، مع الكفار والمشركين إذا كانوا ذميين - أهل ذمة - يستوطنون بلاد الإسلام فهو أمر معروف جوازه.
وكذلك إذا كانوا مسالمين ، غير محاربين أيضاً حكمه هو هو ، أما إذا كانوا محاربين ، فلا يجوز التعامل معهم ، سواء كانوا في الأرض التي احتلوها كاليهود في فلسطين ، أو كانوا في أرضهم ، ما داموا أنهم لنا من المحاربين ، فلا يجوز التعامل معهم إطلاقاً .
أما من كان مسالماً كما قلنا ، فهو على الأصل جائز

Syaikh Al Albani ditanya tentang hukum jual beli (syira’) dengan Yahudi di Eropa Bolehkah?

Beliau menjawab:

“Kami tidak membedakan antara Yahudi dan Nasrani, seperti apa pun interaksinya dengan mereka di negeri tersebut (Eropa). Orang kafir dan Musyrikin jika mereka Dzimmiyyin -Ahludz Dzimmah- mereka berada ditengah-tengah negera Islam, maka sudah diketahui kebolehannya (bermuamalah dengan mereka), demikian juga jika mereka adalah orang-orang yang berdamai, bukan orang yang menyerang, maka hukumnya sama saja …

Ada pun jika mereka menyerang, maka tidak boleh bermuamalah dengan mereka … sama saja .. apakah bermuamalah dengan Yahudi yang saat ini menjajah Palestina .. atau mereka yang berada di negerinya sendiri .. selama mereka masih masih menyerang kami .. maka tidak boleh bermuamalah dnegan mereka secara mutlak !

Ada pun jika mereka mau berdamai seperti yang telah kami katakan, maka pada dasarnya boleh …

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

http://muqorrobin.multiply.com/photos/album/40/BOIKOT_PRODUK_ZIONIS#photo=1

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

semoga memperluas paradigma berpikir...
dan tidak melihat dg mata sempit :)

"apa yang tidak bisa dikerjakan semuanya, hendaklah tidak ditinggalkan semuanya"
(kaidah fiqh)

wallahul-musta'an

sumber:

http://www.islamgold.com/view.php?gid=10&rid=160

Friday 27 March 2009

Fatwa Ibnu Taimiyyah tentang Parlemen

SYAIKHUL ISLAM rahimahullah ditanya :

Tentang seorang yang menjabat suatu jabatan, yang bertugas memutuskan banyak perkara, dan dia harus membayar beban tugas seperti yang biasa terjadi, dan dia memiliki kesempatan untuk menumbangkan semua bentuk kezoliman, bersungguh-sungguh melakukannya sesuai dengan kemampuannya, dia mengetahui jika hal itu ditinggalkannya dan memberikan pada yang lain, lalu dijabat orang lain, maka kezoliman akan merajalela, bahkan bertambah, sementara dia mampu untuk meminimalisir dan meringankan hal tersebut, sehingga sebagiannya sudah mampu diatasi, sementara sebagiannya adalah sektor keuangan yang tidak mungkin digugurkannya, dalam hal ini ia dituntut untuk mengganti bagian yang tidak bisa diatasinya itu, sementara ia lemah dan tidak mampu, tidak mungkin ia lakukan.

Lalu apakah boleh bagi dia untuk tetap pada jabatan dan kebijakannya itu? Sementara niat dan ijtihadnya serta kezaliman yang dihilangkannya sesuai kemampuannya telah diketahui, apakah ia wajib angkat tangan dan berdiam diri terhadap jabatan dan kebijakan tersebut, jika ia tidak mengambilnya, kezaliman akan tetap ada bahkan bertambah, sehingga bolehkah bagi dia untuk tetap menjabat jabatan dan kebijakan tersebut seperti yang telah disebutkan di atas?

Apakah ia berdosa atas kelakuannya ini atau tidak? Jika ia tidak berdosa, apakah ia bisa dituntut untuk melakukan itu atau tidak?, mana perkara yang baik baginya diantara dua hal? Ia terus dengan ijtihadnya dan upayanya menghilangkan dan meminimalisir kezoliman, ataukah ia mendiamkan keberadaan dan bertambahnya kezoliman, apabila rakyat memilih dia, untuk tetap pada posisi itu, karena adanya manfaat yang didapat, dan kesempatan untuk menghilangkan kezoliman, apakah lebih utama dia mendengar kata rakyat, atau dia mundur, sementara rakyat tidak suka dengan sikap itu (sikap mundur), karena mereka mengetahui bahwa kezoliman akan tetap dan bertambah dengan sikap diam dan tidak mau itu.

SYAIKHUL ISLAM menjawab:

Segala puji bagi Allah, ya… apabila ia serius dan bersungguh-sungguh dalam keadilan dan menghilangkan kezoliman sesuai kemampuannya, menjabat jabatan tersebut lebih baik baginya dan lebih banyak maslahatnya bagi kaum muslimin, dari pada jabatan tersebut diisi orang lain, dominasi dia terhadap kebijakan yang ada lebih baik dari pada orang lain, seperti yang telah disebutkan; Sesungguhnya boleh bagi dia untuk tetap pada jabatan dan kebijakan tersebut, dia tidak berdosa, bahkan tetap dan diamnya dia pada jabatan itu lebih baik (afdhal)…..

Kadang-kadang itu menjadi wajib, jika yang lain tidak melaksanakan, sementara ia mampu, maka menebarkan keadilan sesuai dengan kemampuan. Demikian pula dengan menghilangkan kemungkaran-hukumnya fardhu kifayah, yang bisa dilaksanakan setiap orang sesuai kemampuan, apabila yang lainnya tidak mau melaksanakan kewajiban tersbut, dan dia tidak dituntut untuk mengganti sesuatu, sementara keadaan dan situasi masih seperti itu, dan keadaannya itu membuat ia lemah untuk menghilangkan kezoliman itu.

Apa yang diputuskan para penguasa, berupa jabatan dan kerja yang tidak memungkinkan bagi dia untuk menghilangkannya, maka ia tidak dituntut apa-apa, apabila mereka (penguasa) dan para wakilnya meminta harta, yang tidak mungkin dibayar dan diserahkan kecuali dengan cara mengakui posisi-posisi atau pekerjaan tersebut, jika harta itu tidak diserahkan mereka (raja-raja), itu berarti kaum muslimin akan memberikan semua hak kekuasaan penuh atau kebijakan yang tidak adil yang biasa disebut iqthoaat (pengusaan penuh oleh raja terhadap tanah yang dimiliki, raja juga bebas memerintah kaum muslimin sesuai kehendaknya), sehingga kekuasaan akan dipegang oleh mereka yang selalu berbuat zhalim atau menambah kezhalimannya, dan tidak meminimalisirnya, maka mengambil sebagian dari pekerjaan (jabatan) itu dan menyerahkan kepada mereka lebih baik bagi kaum muslimin, dari pada menetapkan dan mengakui semua bentuk jabatan yang ada. Bagi yang tidak mau melakukan hal ini, dan berupaya mewujudkan keadilan dan kebaikan, maka ia lebih dekat (kepada kebenaran) dari yang lainnya, dan pejabat yang melakukan kebaikan ini, berarti ia telah menghilangkan kezhaliman sesuai kemampuan dan menolak kejahatan orang jahat, dengan mengambil sebagian apa yang dituntut dari mereka, apa yang tidak mampu ia lakukan sementara ia berlaku baik kepada kaum muslimin dan tidak berbuat zhalim, maka dia mendapatkan pahala atas itu, dan dia tidak berdosa atas apa yang ia ambil, seperti yang telah disebutkan, dan tidak perlu ada jaminan terhadap apa yang ia ambil, dia juga tidak dosa di dunia ataupun di akhirat, apabila dia termasuk seorang yang bersungguh-sungguh dalam merealisasikan keadilan dan kebaikan sesuai kemampuannya.

Permasalahan ini persisi seperti pengasuh anak yatim (penerima wasiat untuk mengasuh), nadzir waqaf, orang yang bekerja di perpajakan atau perusahaan terbatas, dan yang lainnya, yang memiliki hak mengatur orang lain dengan diberikannya kekuasaan untuk itu, atau sebagai perwakilan, apabila tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan sesuatu yang mengandung maslahat bagi mereka, kecuali dengan menggunakan sebagian harta mereka, yang diperuntukkan bagi penguasa zhalim. Orang tersebut dalam hal ini tidak dianggap bersalah, itu sama halnya dengan apa yang diberikan para penukar jasa uang dengan mengurangi harga, dan harta yang dititipkan pada mereka, sebagaimana mereka memberikan perkerjaan yang diupah dengan barang tidak bergerak, atau pekerjaan yang upahnya diambil dari barang yang dibeli atau dijual, dan setiap yang melakukan sesuatu untuk dirinya atau orang lain, pada zaman ini di negeri ini atau lainnya; ia harus melakukan dan menjalankan pekerjaan tersebut, jika melakukan sesuatu untuk orang lain tidak diperbolehkan -yang di dalam pekerjaan itu ada maslahat- maka bisa dipastikan akan terjadi kerusakan dan hilangnya kemaslahatan bagi mereka.

Orang yang melarang hal ini dengan maksud agar tidak terjadi tindak kezhaliman yang kecil -dan seandainya pendapat ini diterima oleh masyarakat- maka kezhaliman dan kerusakan yang lebih besar akan terjadi. Ini kedudukannya sama dengan mereka yang ada di tengah perjalanan dan dihadang perampok; jika mereka tidak berusaha membujuk agar mengambil sebagian harta yang ada, maka perampok akan mengambil semua harta dan mereka akan dibunuh. Barang siapa mengatakan kepada kafilah dagang tersebut; haram bagi kalian untuk memberikan sesuatu dari harta yang kalian bawa, yang merupakan milik orang banyak -karena dengan perkataannya itu ia ingin menyelamatkan harta yang sedikit- yang ia larang untuk diberikan kepada para perampok. Jika mereka melakukan seperti apa yang dikatakan orang tadi, maka yang sedikit atau banyak dari harta itu akan hilang. Harta itu akan terampas oleh prampok. Sikap ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang berakal sehat, apalagi oleh syariat, karena Rasulullah saw diutus Allah untuk mewujudkan maslahat serta menyempurnakannya dan menghilangkan semua bentuk kerusakan dan meminiamlisirnya sesuai kemampuan.

Yang menjabat jabatan ini dan dengan jabatan itu ia berupaya menghilangkan kezhaliman yang lebih besar dari masyarakat -dan ia tidak akan mungkin menghilangkan kezhaliman tersebut kecuali dengan menjabat jabatan tersebut, dan jika ia tinggalkan maka akan ditempati oleh orang yang suka berbuat zhalim dan kezhaliman tidak akan berkurang- maka dengan memangku jabatan itu, ia akan mendapat pahala, dia tidak berdosa, dan tidak mesti membayar apapun (jaminan) di dunia atau akhirat.

Ini sama dengan orang yang diamanahkan memelihara anak yatim, nazhir waqaf, yang tidak mungkin merealisasikan kemaslahatan bagi yatim kecuali dengan membayar apa yang ditentukan oleh pemerintah yang zhalim. Jika ia tinggalkan hal ini, maka akan diisi oleh orang yang suka berbuat zhalim dan selalu berkeingian untuk zholim. Maka kekuasaan yang diberikan kepadanya merupakan hal yang diperbolehkan dan ia tidak berdosa jika mengambil sebagian harta anak yatim tersebut untuk diberikan kepada penguasa yang zhalim tadi, bahkan kewenangan ini adakalanya wajib ia ambil.

Demikian halnya dengan seorang tentara yang diberi wewenang sederhana, sementara ia tidak mungkin mendapatkan jabatan yang penuh. Di isatu sisi ia membutuhkan kuda, senjata dan biaya -ini semua tidak akan didapatinya kecuali dengan mengambil sebagian dari jabatan tersebut- yang ini dan itu bisa memberikan manfaat kepada kaum muslimin didalam jihad. Jika ada yang mengatakan kepadanya; “Haram baginya untuk mengambil sesuatu dari jabatan itu”, atau ia mengatakan; “Jangan ambil jabatan atau wewenang itu”, setelah itu ia meninggalkannya, lalu diambil oleh orang yang menginginkan kezhaliman dan tidak ada maslahat dan manfaat bagi kaum muslimin, Jelas orang ini salah, bodoh dengan hakikat agama. Bahkan menetapnya tentara turki dan arab, yang mereka ini prajurit paling baik dari yang lain dan manfaatnya lebih banyak bagi kaum muslimin -lebih dekat kepada keadilan dalam kewenangan mereka, yang disertai dengan meminimalisir kezhaliman sesuai kemampuan- itu lebih baik bagi kaum muslimin, dari pada jabatan dan kewenangan itu diambil oleh orang yang tidak bisa mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin.

Mereka yang berijtihad di antara pejabat ini, semua dalam keadilan dan kebaikan sesuai kemampuan, maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan, tidak akan diazab atas apa yang tidak mampu mereka perbuat, dan tidak akan dihisab terhadap apa yang diambil dan dikelolanya, tapi dengan niat dan maksud seperti diatas. Karena meninggalkan sikap seperti itu pasti akan mendatangkan keburukan yang lebih besar dari itu, dan Allah lebih mengetahui.

Majmu’ul Fatawa (30/356-360).

Wednesday 25 March 2009

Muxlim.com, situs alternatif kita... :)

Are you muslim?
Let's support this product....

mine is http://my.muxlim.com/muqorrobin/

---------------------------------------------lengkapnya di ---------------------------------------------
http://www.republika.co.id/koran/0/38153/I_Muxlim_I_Gaya_Hidup_Umat_Muslim_Dunia
--------------------------------------------------------------------

Dari Facebook, Yuk Pindah Muxlim.com


.....................

Situs jejaring sosial khusus komunitas Muslim itu kali pertama
diluncurkan pada 2006. Muxlim Inc yang didirikan Mohamed El-Fatatry dan
Pietari Paivenen--dua entrepreneur yang berbasis di Finlandia--itu telah
meraih kesuksesan. BBC menabalkan Muxlim sebagai salah satu situs
jejaring sosial yang tumbuh paling cepat di dunia.

Tak cuma itu, situs gaya hidup komunitas Muslim ini juga diakses puluhan
juta pengunjung setiap tahun. Tak heran, jika Muxlim pun dinobatkan
sebagai salah satu finalis Red Herring 100. Pada 2008, surat kabar
terkemuka di Finlandia Helsingin Sanomat memasukkan Muxlim Inc dalam 100
perusahaan tersukses di negara itu.

Majalah teknologi terkemuka di Amerika Serikat (AS) menobatkan Muxlim
sebagai salah satu best tech start-ups dari Eropa.

Lalu, apa yang membuat anak Muda Muslim di Eropa dan Amerika Utara
menggemari Muxlim? Shabana Ahmadzai (19) warga Finlandia keturunan
Afghanistan mengaku sudah dua tahun bergabung menjadi anggota Muxlim.
Menurut dia, membuat pertemanan dan gabung dalam sebuah grup di Muxlim
lebih mudah ketimbang di Facebook.

Menurut pendiri Muxlim, Mohamed El-Fatatry (24), jumlah pengunjung situs
jejaring sosial yang diciptakannya mampu mencapai 1,5 juta per bulan,
naik pesat dibandingkan 18 bulan lalu yang hanya mencapai 100 ribu
pengunjung.

Kini, sekitar 60 persen pengguna Muxlim berasal dari Amerika Utara dan
Eropa. Sekitar tiga persen anggota Muxlim adalah non-Muslim dan lebih
dari separuh pecinta situs itu adalah kaum hawa.

"Muxlim memiliki jumlah lalu lintas pengunjung yang bagus. Situs ini
diapresiasi oleh penggunanya, '' ungkap Chief Executive Rite Internet
Ventures--perusahaa n berbendera Swedia--Christoffer Hagglund.

Friday 20 March 2009

Tawaran Dagang yang Sangat Tinggi

Pada saat kekhalifahan Umar Al Faruq radhiallahu anhu, saat itu manusia sedang menderita tahun paceklik yang mengakibatkan banyak sawah ladang serta hewan yang menjadi korbannya. Sehingga tahun tersebut dikenang dengan sebutan tahun Ramadah (debu)171 karena parahnya paceklik yang terjadi.  Kesulitan yang dirasakan oleh manusia di Madinah terus semakin mengganas sehingga banyak nyawa manusia yang terancam. Suatu pagi para penduduk datang menghadap khalifah Umar dan berkata: “Wahai khalifah Rasulullah. Langit sudah lama tidak menurunkan hujan, dan bumi sudah tidak menumbuhkan pephonan. Banyak nyawa manusia yang terancam. Apa yang mesti kita lakukan?!”

Dengan tatapan penuh kegelisahan Umar melihat wajah mereka dan berkata: “Bersabarlah dan berharap pahalalah kalian kepada Allah! Aku amat berharap semoga Allah subhanahu wataala akan memudahkan kesulitan kalian pada petang ini.”

Pada penghujung hari, terdengar kabar bahwa kafilah Utsman bin Affan telah datang dari Syam, dan rombongan tersebut akan tiba di Madinah pada pagi hari.

Begitu shalat Fajar usai dilaksanakan, maka semua orang berbondong-bondong menyambut kedatangan kafilah ini.

Para pedagang yang menyambut kedatangan kafilah ini mendapati bahwa rombongan Utsman terdiri dari 1000 unta yang sarat dipenuhi dengan gandum, minyak dan anggur kering.

Kafilah unta tersebut berhenti di depan pintu rumah Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Para budak segera menurunkan muatan dari punggung unta.

Para pedagang pun segera menemui Utsman dan berkata kepadanya:

“Juallah kepada kami segala yang kau bawa, ya Abu Amr (panggilan Utsman)!”

Utsman berkata: “Aku akan menjualnya dengan senang hati kepada kalian, akan tetapi berapa harga yang hendak kalian tawarkan kepadaku?” Mereka menjawab: “Setiap dirham yang kau bayarkan akan kami ganti dengan dua dirham.”

Utsman menjawab: “Aku akan mendapatkan lebih dari itu.” Maka para pedagangpun menambahkan lagi harga tawaran mereka.  Utsman lalu berkata: “Aku akan mendapatkan lebih dari harga yang telah kalian tambahkan.” Para pedagangpun menambahkan lagi harga tawaran mereka.

Namun Utsman tetap berkata: “Aku akan mendapatkan lebih dari ini.” Para pedagang tadi berkata: “Wahai Abu Amr, tidak ada para pedagang lain di Madinah selainkami. Juga tidak ada seorang pun yang mendahului kami datang ke tempat ini. Lalu siapa yang telah memberikan tawaran kepadamu melebihi harga yang kami tawarkan?!” Utsman menjawab: “Allah subhanahu wataala akan memberikan 10 kali lipat dari setiap dirham yang aku bayarkan. Apakah kalian dapat membayar lebih dari ini?”

Para pedagang itu menjawab: “Kami tidak sanggup untuk membayarnya, wahai Abu Amr.

Utsman langsung berseru: “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku akan menjadikan semua barang bawaan yang dibawa oleh kafilah ini sebagai sedekah kepada para fuqara kaum muslimin. Aku tidak pernah berharap satu dirham ataupun satu dinar sebagai gantinya. Aku hanya berharap keridhaan dan balasan dari Allah subhanahu wataala.



(Kisah Heroik: 65 Orang Sahabat Rasulullah - Dr. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya)

diambil dari kaunee.com ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah:110)

Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?

Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?

Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.


Wednesday 18 March 2009

Penyesatan di IAIN Bandung....

Berita lama, tapi tetap harus diwaspadai...

Makanya, hayuh pelajari islam yang bener... :)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ada mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung mengajak zikir “Anjing hu akbar”. Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) menemukan fakta lembaga ini telah disusupi benih anti Islam dan komunisme. Keracunan filsafat?

Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang bermarkas di Bandung, KH Athian Ali M Da’i, MA dibuat kaget ketika bertemu 119 mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung belum lama ini. Pasalnya, para mahasiswa itu menyampaikan surat pengaduan kepada FUUI mengenai keresahan yang mereka alami selama ini. Mereka melaporkan telah terjadi penghinaan terhadap Dzat Allah dalam bentuk ajakan dzikir “Anjing hu Akbar”. Selain itu, acara Kuliah Ta’aruf di kampus mereka tak lagi bernuansa akademis tapi malah menjadi ajang hujatan kepada Tuhan. Tak berhenti sampai di situ, sejumlah mahasiswa juga mengajak adik-adik yang baru duduk di bangku kuliah ke arah pemikiran sesat dan bertentangan dengan akidah dan kaidah Islam.

Hal ini semakin dipertegas dari hasil investigasi Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) FUUI. Hedi Muhamad dari TIAS-FUUI, mengungkap beberapa kasus yang terjadi satu tahun lalu. Satu kasus di antaranya terekam, seorang mahasiswa mengatakan, “Allah kita telah mati.” Saat itu memang tak ada tindakan, tapi muncul inisiatif membentuk tim khusus yang beranggotakan 4 orang mahasiswa IAIN SGD sendiri. Puncaknya terjadi 27 Agustus 2004, di hadapan ratusan mahasiswa baru, Farid Yusuf, Presiden Mahasiswa HMJ Aqidah Filsafat mengajak seluruh mahasiswa untuk berdzikir “Anjing hu Akbar”. Kejadian ini direkam dalam bentuk VCD sebagai bukti.

“Yang bersangkutan bisa dikenakan delik pasal 156a dan pasal 156b,” kata HM Rizal Fadillah, SH, Ketua Badan Advokasi FUUI kepada SABILI. Masih menurutnya, yang diadukan adalah mahasiswa IAIN bukan institusinya, namun tidak menutup kemungkinan dapat dikembangkan bagi pelaku penghujat lain sesuai dengan bukti-bukti yang ada.

Pihak IAIN SGD, saat dikonfirmasi soal pengaduan itu diwakili Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr Abdul Rozak, M.Ag. Ia mengatakan, kalau secara personal, kasus ini akan diserahkan kepada pihak berwajib. Dia yakin, polisi pun tentu tak kan gegabah begitu saja. “Setidaknya mereka akan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan MUI atau Depag,” katanya.

Abdul Rozak menambahkan, di lembaga ilmiah seperti IAIN sangatlah wajar kalau terjadi diskusi-diskusi yang “menggugat” bentuk-bentuk yang sudah mapan untuk menemukan bentuk yang baru. IAIN adalah lembaga resmi negara. Oleh sebab itu diberi wewenang untuk mengembangkan pemikiran Islam agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat plural dan inklusif. Ketika dikembangkan, butuh sarana-sarana seperti ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hal tersebut. Persoalannya, sejumlah kalangan mempertanyakan, apakah yang namanya lembaga ilmiah dalam rangka menemukan bentuk baru tersebut, harus menggugat dan menghujat Allah?

Soal ungkapan yang dilontarkan mahasiswanya, Abdul Rozak mengatakan “anjing hu akbar” itu merupakan sebuah shock terapi, karena ada masyarakat Muslim kelakuannya justru tidak mengacu kepada Allahu Akbar. Hari-harinya dilalui dengan shalat, zakat atau haji namun mentalnya bertentangan dengan hukum Allah dan sifatnya justru seperti binatang. “Mungkin di sinilah yang harus diinterpretasikan secara luas dan mendalam,” ujarnya kepada SABILI.

Sebaliknya Kepala Kantor Wilayah Agama Jawa Barat, Drs Iik Makib Lc, sangat menyayangkan jika benar ada sekelompok mahasiswa yang berpandangan demikian. “Bagaimanapun juga lembaga seperti IAIN yang sarat dengan dunia pendidikan Islam tentu menyeleksi calon mahasiswanya secara ketat,” tegas Iik.

Ketua FUUI, KH Athian Ali Da’i menegaskan, FUUI selaku institusi keislaman merasa peduli terhadap IAIN yang merupakan aset umat. Athian berharap, IAIN Bandung, bisa membersihkan anasir-anasir yang dapat mencoreng citranya. Selain itu, penting pula upaya penyelamatan akidah umat, terutama di kalangan mahasiswa IAIN SGD dari pengaruh yang dihembuskan sekelompok orang yang mengusung atheisme atau aktivitas yang mendangkalkan akidah. “Tidak ada tendensi lain,” ungkapnya penuh perhatian.

FUUI sendiri telah mengeluarkan maklumat bahwa tindakan penghinaan atau penodaan terhadap Islam, menurut hukum Islam, dapat dikenakan hukuman mati bagi pelakunya. Athian meminta kepada pihak IAIN SGD agar mensterilkan kampusnya dari berbagai paham yang dapat menyesatkan. Pihaknya mengimbau kepada orang tua agar berhati-hati memasukkan anaknya atau yang terlanjur sudah di sana sebelum kampus bersih dari paham-paham yang dimaksud.

Tapi lain Athian, lain IAIN. Menurut Abdul Rozak, di IAIN SGD tak ada paham atheis atau yang lainnya. Yang ada hanyalah pengembangan pemikiran dalam kontruksi ilmiah. “Selama dalam koridor yang benar, mengapa mesti dipermasalahkan,” kata Rozak.

“Anjing hu Akbar”, tentu saja kalimat ini menyakitkan umat Islam. Hal ini merupakan persoalan umat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu kiranya dari semua pihak untuk bersama menyelesaikannya. Tak pantas bagi lembaga pendidikan seperti IAIN, penghuninya mengucapkan kalimat itu. Bukankah IAIN lembaga ilmiah?

Deffy Ruspiyandy (Sabili/Bandung)
sumber:swaramuslim

Hadits Makan Ketika Lapar dan Sebelum Kenyang?

Sayangnya lafadz yang seringkali dikatakan sebagai hadits nabi ini
tidak kita temukan di kitab-kitab hadits yang muktamad, semacam Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa”i, Sunan Abu Daud, Sunan
At-Tirmizy, Sunan Ibnu Majah dan lainnya.

Juga tidak kami dapati di kitab-kitab hadits ahkam semacam Bulughul Maram atau Nailul Authar dan sejenisnya.

Sheikh Nawawi Al-Bantani pernah mengatakan bahwa lafadz ini hanyalah hikmah dan bukan hadits nabi shallallahu alayhi wasallam.

Namun keterangan yang lebih rinci kita dapat dari seorang ahli hadits di negeri ini, yaitu Al-Ustadz Prof. KH. Ali Mustafa Ya”qub, MA. Beliau menyebutkan bahwa lafadz itu didapatnya tertulis pada salah satu kitab yang disebut dengan Ar-Rahmah fii Ath-Thibb wa Ar-Rahmah karya Al-Imam As-Suyuti (wafat 911 H).

Namun alih-alih sebagai hadits nabi, lafadz itu ternyata hanyalah merupakan perkataan seorang tabib (dokter) dari Sudan, yang tidak ada kaitannya dengan urusan syariah dan agama.

Mungkin sebagai sebuah advis atau nasehat dari seorang dokter, esensi nasehat tersebut ada benarnya, namun kalau dikatakan bahwa lafadz itu merupakan sabda nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam, sungguh sangat disayangkan.

Sebab kita tahu bahwa hal itu merupakan sebuah kebohongan serius kepada beliau. Sampai ada hadits yang menyebutkan bahwa orang yang sengaja berdusta tentang nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam, maka dia harus menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.

Bukan Hadits Tapi Nasehat Dokter

Di dalam kisah itu As-Suyuti menuliskan bahwa ada empat orang dokter ahli berkumpul di hadapan Kisra raja Persia. Masing-masing berasal dari negeri yang berbeda. Yaitu dari Iraq, Romawi, India dan Sudan.

Masing-masing diminta untuk memberikan resep yang paling manjur yang tidak memberikan efek samping. Dokter dari Iraq memberi resep berupa minum air hangat tiga teguk setiap hari begitu bangun tidur. Resep dokter dari Romawi adalah menelan 3 biji rasyad (sejenis sayuran) tiap hari. Resep dokter India adalah menelan 3 biji ihlilaj tiap hari. Ihlilaj adalah sejenis gandum yang tumbuh di India, Afghanistan dan Cina. Giliran dokter dari Sudan, resepnya adalah tidak makan kecuali sudah lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Rupanya resep terakhir inilah yang dianggap paling manjur dan juga diakui oleh ketiga rekannya.

Dalam mengisahkan cerita tentang nasehat dokter dari Sudan ini, Al-Imam As-Suyuthi sama sekali tidak menyebutkan bahwa lafadz ini datang dari Rasulullah shallallahu alayhi wasallam. Sehingga kalau sampai banyak penceramah main kutip lafadz ini sehingga akhirnya seolah menjadi hadits nabi, sungguh sangat disayangkan.

Wallahu a”lam bishshawab, wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

sumber: eramuslim.com

Monday 16 March 2009

Seri Belajar Finansial Islami (SBFI) 1

Sedikit terdorong dengan rasa tanggung jawab keilmuan, jadi ingin menulis  corat-coret tentang finansial islami.  Semoga bermanfaat.

Sebagai tulisan pertama saya mencoba membahas dari hal-hal yang ada di sekitar. Langsung main haram-haraman, sumimasen*....


Haramnya Gacha-gacha dan Fuku bukuro?

Gacha-gacha adalah mainan yang dibungkus kapsul plastik, yang tidak bisa diketahui dengan jelas barang di dalamnya kecuali setelah dibeli. Juga biasa dikenal dengan sebutan capsule toy. Di jepang banyak sekali mesin yang menjual capsule toy ini. Di Malaysia pun saya menemukannya. Tidak tahu bagaimana di indonesia.
Fotonya bisa dilihat di sini

Adapun fukubukuro (kantung keberuntungan) adalah paket kantung belanja yang biasa dijual di awal tahun baru (di jepang). Spesifikasi barang di dalamnya tidak bisa diketahui kecuali sebatas apakah itu kemeja, kaos, rompi, tas, atau yang lainnya.

Kenapa jual beli barang-barang seperti di atas diharamkan dalam Islam?

Perlu diketahui bahwa acuan dasar transaksi terlarang dalam Islam setidaknya ada 4 hal, yaitu:
1. Riba (bunga)
2. Gharar (tipu)
3. Maysir (judi)
4. Transaksi barang haram (babi, bir, dll)

Nah, jual beli gacha-gacha dan fukubukuro masuk dalam kategori gharar. Memang secara harfiah gharar artinya tipu. Tapi secara makna ia mencakup transaksi di mana objek transaksi tidak jelas spesifikasinya. Apakah ia berwarna merah, hijau, atau biru. Apakah ia berupa mainan power rangers yang sedang berdiri, loncat, atau menendang. Perbedaannya dengan maysir (judi) adalah, dalam gharar seseorang sudah pasti mendapatkan sesuatu, tapi hanya tidak diketahui spesifikasinya.

Tapi bukankah kalau sama-sama rela tidak mengapa tanpa spesifikasi yang jelas?

Memang dalam surat an-Nisa ayat 29 disebutkan bahwa jual beli itu harus dilakukan dengan rela sama rela, sehingga jual beli/ akad di mana salah satu terpaksa dalam melakukannya, menjadikannya tidak sah. Namun perlu diingat dalam urusan halal-haram, rela sama rela tidak langsung menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Seperti bunga bank, walaupun peminjam rela membayar bunga dan pemberi pinjaman rela diberi bunga, bunga bank tetaplah haram. Contoh yang lebih ekstrim adalah masalah zina, walaupun rela sama rela, tetap dosa bukan?!

Masalah gharar dalam kasus yang saya tuliskan kali ini lebih sering kita kenal dengan sebutan "beli kucing dalam karung". Sependek pengetahuan saya, tidak ada ulama dari masa lalu maupun masa kini yang  menentang keharamannya. Ada banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, namun sebagai penutup cukuplah saya paparkan satu di antaranya.
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan Muslim, disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang menjual dengan lemparan kerikil.

Yang dimaksud menjual dengan lemparan kerikil sebagaimana dijelaskan dalam para ulama adalah seorang pembeli melempar kerikil ke arah barang dagangan (mis. baju), dan baju mana saja yang terkena menjadi miliknya dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya.

Wallahu a'lam




--------------------------

*: maaf

Thursday 12 March 2009

Mengapa Kami Golput!!!

Yaitu agar:
1. Ahmadiyyah dan LDII yang sudah puluhan tahun mengakar di Indonesia dapat kita berantas sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Kan kita gak milih mereka, jadi klo terpilih orang2 yg g peduli sama kesesatan Ahmadiyyah dan LDII ya kita g perlu nuntut.

2. Agar parlemen semakin banyak diisi oleh orang-orang yang meminum air cucian kaki ketua parpolnya (http://www.inilah.com/berita/politik/2009/02/18/84508/).
Yang beginian ini syirik atau apa yah? kl syirik berarti DOSA TERBESAR bo! Seru juga kali melihat negara ini diatur para pelaku dosa terbesar.

3. Agar parlemen semakin banyak diisi oleh muslim yang tidak sholat.
Pernah denger dari temen yg ikut pertemuan dg seorang aleg partai islam yang bercerita bagaimana dia memperjuangkan break sholat dalam rapat-rapat parlemen yang berjam-jam itu. Seru kan?! Aleg yg sebagian besar muslim itu kl rapat g punya break sholat sebelum ini, padahal tuh sholat kan ikatan terakhir seorang muslim.

"Tali-tali (penguat) Islam sungguh akan musnah seikat demi segera berpegang dengan ikatan berikutnya (yang lain). Ikatan yang pertama kali binasa adalah hukum, dan yang terakhir kalinya adalah sholat"
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).


Jadi inilah alasan kenapa kami Golput....
Kami?? Ente kaleee.. :D

Saya sih ingin memilih yang terbaik di antara dua keburukan. Aliran sesat, kesyirikan, tidak sholatnya pemimpin2 muslim, adalah keburukan yang lebih besar dibanding keburukan-keburukan lain yang ada dalam demokrasi. IMHO.


“Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241. Al Maktabah Asy Syamilah)

Wednesday 11 March 2009

Aktif Mengurangi Kerusakan adalah Tuntutan Syariat

Dr. Abdul Karim Zaidan, salah seorang ulama dan dai berkebangsaan Irak, dalam makalahnya berjudul “Demokrasi dan Keikutsertaan Ummat Islam dalam Pemilu” yang disampaikan pada Mu’tamar Rabithah ‘Alam Islami di Makkah 21 Syawwal 1422 H, mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa jiwar tersebut bahwa seorang muslim diperbolehkan mengambil produk hukum atau peraturan dari sistem yang tidak islami yang bermanfaat bagi dakwah islamiyyah.

“Hikmah dibolehkannya mengambil perlindungan dari orang kafir adalah untuk menolak bahaya dan kehancuran yang mengancam seorang muslim dengan cara yang tidak mencoreng nilai dan hukum Islam. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi dibolehkannya mengambil aspek tertentu dari nizham (sistem) kekufuran yang bermanfaat bagi ummat Islam. Artinya, seorang muslim yang tinggal di negara kafir diperbolehkan mengambil sebagian produk undang-undang mereka jika hal itu membawa suatu maslahat atau dapat menolak suatu bahaya dan ancaman baginya atau bagi ummat Islam yang tinggal di sana.”

Lebih jauh lagi, Dr. Abdul Karim Zaidan menghubungkan masalah jiwar ini dengan keterlibatan seorang muslim yang tinggal di negara-negara barat dalam pemilu. “Dengan dasar ini, maka seorang muslim yang tinggal di negara-negara non muslim yang memiliki hak pilih dalam pemilu –pemilu legislative– diperbolehkan memilih seorang kafir sebagai anggota parlemen yang diharapkan dapat memberi manfaat atau menolak mafsadat baginya atau kaum muslimin yang lain di negara tersebut atau kaum muslimin di negara lain, minimal memilih orang kafir yang memiliki sikap al-hiyad (obyektif) terhadap problematika kaum muslimin. Karena jika kita tidak dapat merealisasikan semua maslahat atau menolak semua kerusakan, maka minimal adalah berusaha mengurangi kerusakan yang diantara realisasinya adalah ikut memilih orang yang diharapkan dapat mewujudkan hal tersebut. Apalagi jika dianalisis bahwa kekalahannya mengakibatkan kemenangan orang yang lebih buruk dan lebih banyak bahayanya bagi kaum muslimin. Sikap pasif atau golput adalah sikap negatif, juga menandakan tak ada upaya mengerahkan kemampuan untuk mengurangi mafsadat yang mengancam kaum muslimin, dan sikap ini tentu saja tidak dianjurkan oleh syariat jika kita tidak mau mengatakan dilarang.” (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA)

Bahkan Syaikh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, seorang ulama dan tokoh pergerakan yang senegara dengan Dr. Abdul Karim Zaidan, setelah mengemukakan berbagai argumentasi dengan tegas mewajibkan kaum muslimin di negara-negara non muslim menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

“Oleh karenanya, berdasarkan timbangan syariah, pemahaman ilmu-ilmu syar’i, dan fiqh imani yang saya miliki, saya berpendapat bahwa keikutsertaan seorang muslim dalam pemilu untuk memberikan suara kepada calon-calon pemimpin dari kekuatan politik yang bersikap moderat di negara-negara barat yang Nasrani telah menjadi kewajiban menurut syariat Islam disebabkan oleh adanya ancaman dari kekuatan-kekuatan ekstrem yang memusuhi Islam (jika mereka menang). Dan fatwa saya ini berlaku juga untuk negara-negara timur jauh yang beragama Budha, India dan Srilanka, dan Negara manapun yang menghadapi persaingan politik dan situasi yang sama.”  (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&Pagename= IslamOnline- Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA).

Jika demikian halnya dengan pemilu di negara-negara non muslim, tentu para da’i di Indonesia tidak ada yang tidak bersemangat membela dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya di pemilu untuk memperbesar kemaslahatan dakwah.

Jiwar, Sebuah Perlindungan Bagi Dakwah Dan Para Dai

Jiwar adalah salah satu produk hukum musyrikin Arab yang berarti perlindungan atau suaka politik. Hukum ini menegaskan bahwa seorang tokoh di antara mereka boleh menyatakan dengan bebas untuk memberikan perlindungan kepada seseorang, sehingga siapapun tidak boleh menyakiti orang-orang itu sebagai penghormatan kepada orang yang melindungi dan pengakuan terhadap ketokohan, kehormatan dan pengaruhnya.

Ketika Rasulullah saw. kembali dari Thaif, beliau tidak bisa masuk ke kota Makkah kecuali dengan perlindungan dari seorang tokoh Musyrikin Quraisy yang bernama Al-Muth’im bin ‘Adi. Rasulullah saw. meminta perlindungan dan Al-Muth’im mengabulkan permintaan Nabi. Al-Muth’im bin ‘Adi dan keluarganya kemudian mengambil perlengkapan senjata mereka dan keluar bersama menuju Masjid Haram. Setelah sampai di Masjid, ia mengutus orang untuk meminta Rasulullah saw. segera masuk ke kota Makkah. Rasulullah saw. pun memasuki kota Makkah, lalu menuju Masjid Haram, thawaf di Ka’bah dan melakukan shalat, kemudian kembali ke rumahnya.

Diriwayatkan bahwa Abu Jahal sempat bertanya kepada Al-Muth’im bin ‘Adi, seperti yang tertera di Sirah Ibnu Hisyam, Bab “Kaifa Ajara Al-Muth’im Rasulallah” (bagaimana Al-Muth’im melindungi Rasulullah saw). Abu Jahal bertanya, “Engkau pemberi jiwar ataukah pengikut Muhammad (muslim)?” Al-Muth’im menjawab, “Aku pemberi jiwar.” Abu Jahal berkata, “Kami melindungi siapapun yang engkau lindungi.” (lihat juga Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).

Pembelaan Al-Muth’im bin ‘Adi ini amat berkesan di hati Rasulullah saw. sehingga ketika Perang Badar usai dan Rasulullah saw. telah memutuskan perlakuan terhadap tawanan Perang Badar, beliau bersabda, “Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, hlm 100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).

Peristiwa perlindungan oleh Al-Muth’im ini terjadi setelah paman Rasulullah saw. –Abu Thalib– wafat. Sebelum itu, Rasulullah saw. dengan sukarela menerima perlindungan dari Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak masuk Islam. Ketika Abu Thalib juga memberikan perlindungan kepada Salamah bin ‘Abdil Asad r.a., sekelompok orang dari Bani Makhzum datang kepadanya, “Wahai Abu Thalib, engkau telah melindungi anak saudara laki-lakimu Muhammad, mengapa kini engkau lindungi orang ini dari kami?” Abu Thalib menjawab, “Ia telah meminta perlindungan kepadaku, dan ia adalah anak saudara perempuanku. Bila aku tidak melindungi anak saudara perempuanku, maka aku juga tak akan melindungi anak saudara laki-lakiku.”

Pada saat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. hendak berhijrah ke Habasyah menyusul saudara-saudaranya tercinta yang telah lebih dahulu hijrah, seorang tokoh musyrikin yang bernama Ibnu Ad-Daghannah menemuinya dan memberikan perlindungan kepadanya sambil berkata, “Orang sepertimu tidak boleh keluar dan dikeluarkan dari Makkah.” Hatta, Umar Al-Faruq pun mendapat perlindungan dari seorang musyrik bernama Al-’Ash bin Wail As-Sahmi ketika Quraisy telah mengetahui keislamannya. (lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, Muhammad Abu Syuhbah, juz 1 hlm 36, 381, 358).

Betapa pentingnya bagi seorang dai untuk memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya, atau dengan orang-orang di sekitarnya, meskipun kafir, yang dapat membelanya, dan pembelaan ini bermanfaat bagi dakwahnya. Tidaklah mungkin Rasulullah saw. mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib, kalau beliau tidak menjaga hubungan baik dengan pamannya yang musyrik itu. Juga tidaklah mungkin Al-Muth’im bin ‘Adi bersedia memberikan perlindungannya kepada Rasulullah saw. kalau tidak ada muamalah yang baik antara Rasulullah saw. dengannya.

Tidaklah penting bagi seorang dai untuk mengetahui apakah pembelaan itu karena faktor kekeluargaan, kesukuan, pertemanan, ataukah sebab lainnya. Yang jelas perlindungan dan dukungan ini bermanfaat bagi sang dai dan secara otomatis menjadi maslahat bagi gerak dakwahnya. Begitu pula betapa pentingnya sebuah jamaah dakwah memiliki hubungan muamalah yang baik dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat terutama di dalam negeri. Dengan muamalah yang baik ini jamaah dakwah dapat lebih leluasa bergerak merealisasikan agenda dakwahnya dan mendapatkan pembelaan dari berbagai pihak yang telah merasakan husnul muamalahnya.

Al-Quran sendiri mengisyaratkan peran kabilah atau keluarga, meskipun kafir, dalam melindungi da’i dari ancaman musuh seperti dalam kisah Nabi Syuaib a.s., “Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.’” (Hud: 91).

Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama Saudi Arabia, dalam menjelaskan ayat tersebut mengatakan, “Allah swt. membela orang-orang yang beriman dengan berbagai cara, ada yang mereka ketahui dan ada pula yang tidak mereka ketahui. Bisa jadi Allah membela orang-orang yang beriman dengan kabilah atau warga sekampung mereka yang kafir sekalipun sebagaimana Allah membela Nabi Syuaib a.s. dari ancaman rajam dengan wibawa keluarganya. Ikatan-ikatan yang dapat membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini boleh diusahakan bahkan dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena ishlah (perbaikan) itu wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan.” (Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan ketika membahas surat Hud ayat 91).

Tentang Rasulullah saw., Allah swt. Berfirman, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (Ad-Dhuha: 6). Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Maksudnya: Dia memberikan perlindungan kepadamu dengan menyerahkanmu kepada pamanmu, Abu Thalib. Hal itu disebabkan oleh kasih sayang keluarga dan hubungan nasab, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Ketika Allah swt. memberikan nk’mat kepada Rasul-Nya saw. dengan perlindungan Abu Thalib, maka dalam hal ini terdapat dalil bahwa sesungguhnya Allah swt. bisa jadi memberikan nikmat kepada orang yang berpegang teguh kepada agamanya dengan pertolongan kerabatnya yang kafir.”

Setelah menyebutkan ayat-ayat lain tentang dukungan keluarga kepada para nabi, Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi melanjutkan, “Ayat-ayat Al-Quran ini menunjukkan bahwa ashabiyyah sanak saudara yang kafir bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Pada saat Banu Al-Muthalib bin Abdi Manaf membela Banu Hasyim, sedangkan Banu Abdi Syams bin Abdi Manaf serta Banu Naufal bin Abdi Manaf tidak membantu Banu Hasyim, Rasulullah saw. mengetahui bahwa pembelaan tersebut adalah semata ashabiyyah keturunan dan tidak ada hubungannya dengan agama. Maka Rasulullah saw. memberikan kepada Bani Al-Muthalib bagian dari seperlima ghanimah bersama Banu Hasyim, dan beliau bersabda, “Kami (Banu Hasyim) dan Banu Al-Muthalib tidak pernah bercerai baik ketika jahiliyyah maupun Islam.” Dan beliau tidak memberikan dari seperlima ghanimah tersebut kepada Bani Abdi Syams maupun Bani Naufal meskipun keduanya adalah keturunan Abdu Manaf bin Qushay.” (Seperlima dari harta rampasan perang (khumus) adalah jatah yang diberikan Allah swt untuk Rasulullah, kerabat beliau dan pihak lain yang telah disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 41. Lihat Adhwa‘ Al-Bayan, ketika Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi menafsirkan surat Hud ayat 91).

Sudah seharusnya ikhwah dan akhawat aktifis dakwah memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka yang tentu saja mayoritasnya adalah kaum muslimin juga, sehingga ikatan yang mengikat bukan saja ikatan darah atau kekerabatan, tetapi juga ikatan iman. Bahkan jika mereka kafir atau musyrik sekalipun, hubungan baik dan dukungan mereka tetap harus diupayakan. Para da’i harus dapat menggunakan bahasa iman sekaligus bahasa kekeluargaan untuk menarik dukungan keluarga dalam membela dirinya dan dakwah yang ia perjuangkan.


sumber:dakwatuna.com

Brave Palestinian child VS. Coward Israeli Soldier




Monday 9 March 2009

Boikot Daging Unta !!!

Lho, memang daging unta produk zionis Yahudi? Atau hasil penjualan daging unta disumbangkan ke penjajahan Palestina shg perlu diboikot?

Hehehe, ini bukan kisah zaman ini. Tapi kisah zaman khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Bagi yang pernah mengambil mata kuliah Siyasah Syar`iyyah (Syariat Politik) atau pernah mengkaji hal tersebut harusnya tidak merasa asing kisah ini.

Pada masa kepemimpinannya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab pernah mengeluarkan fatwa (atau lebih tepatnya qadha*) berisi pengharaman daging unta, "hanya" karena para penjual daging memberi harga yang sangat tinggi terhadap barang dagangan mereka. Akibat qadha dari Umar ini, tidak ada rakyat yg membeli daging sehingga para pedagang daging terpaksa menurunkan harga daging dan Umar pun mencabut qadhanya.

Sekilas kita akan melihat banyak kontroversi dari kisah ini. Tapi ternyata kisah ini tidak diikuti kisah-kisah pertentangan terhadap keputusan Umar tersebut dari para sahabat yang masih hidup pada masa itu. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa keputusan Umar tersebut disetujui para sahabat saat itu.

Inilah siyasah. Dan kita lihat pada masa sekarang sebagian ulama ataupun pemimpin negeri muslim menggunakan berbagai siyasah sebagai senjata menghadapi musuh-musuh Islam. Dalam hal boikot, kita tentu tahu kisah fenomenal Raja Faisal bin Abdul Aziz yang memimpin dunia arab di masanya untuk memboikot penjualan minyak ke AS dan Eropa. Selain itu kita juga tentu tahu tentang fatwa sebagian ulama dunia untuk memboikot produk-produk yang menyokong zionis Yahudi.

Saya tidak mengatakan bahwa boikot itulah yang benar dan tidak boikot adalah kesalahan. Bagaimanapun ada sebagian ulama yang tidak setuju terhadap gerakan boikot produk2 Yahudi. Tapi yang rasanya kurang pas adalah ketika masalah boikot-tidak boikot dibawa-bawa ke masalah manhaj, jalan yang lurus, dsb. Sehingga menganggap salah satu jalan di antara dua jalan tersebut sebagai jalan yang salah, keluar manhaj, dan sebagainya.

Yang juga terasa tidak pas adalah sindiran non-boikoters kpd boikoters yg dianggap tidak konsisten dalam menjalankan prinsipnya karena tidak boikot 100% produk2 Yahudi (masih pakai google, dsb). Sindiran seperti ini kurang tepat krn dalam kaidah fiqh sendiri sudah disebutkan bahwa "yang tidak bisa dikerjakan semuanya jangan ditinggalkan semuanya". 

Saya pribadi mencoba proporsional dalam boikot. Kalau manfaat suatu produk hanya sekedar kesenangan pribadi, seperti Coca Cola, McDonald, Nestle, dll, ya tidak perlu kan?! Tp klo ada manfaat yang jelas bahkan bisa menjadi wasilah perbaikan umat seperti internet, ya tetap dipakai. Bagaimanapun saya adalah konsumen, memutuskan memakai atau tidak adalah hak saya. Dan saya berhak untuk tidak merasa nyaman mengkonsumsi Coca Cola, Mc Donald, Neslte, dll, karena mengetahui penghargaan zionis Yahudi yang mereka dapatkan.

 

*qadha : pendapat/keputusan pemimpin terhadap suatu masalah
fatwa : pendapat ulama terhadap suatu masalah

Friday 6 March 2009

Jangan Halangi Aku....

Kali ini bukan sekedar wacana.. tapi kisah patriot.. :)

------------------------------------------------

Hari itu Nasibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nasibah menebak, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.

Dengan bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya. “Suamiku tersayang,” Nasibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”

Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”

Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said saja.

Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”

Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”

Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.”

Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”

Putra Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”

Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan mereka meunuju ke rumah Nasibah. Setibanya di sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”

Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”

Inna lillah….” Nasibah bergumam kecil. Ia menangis.

“Kau berduka, ya Ummu Amar?”

Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad masih kanak-kanak.”

Mendegar itu, Saad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”

Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”

Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan itu.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”

Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah. Mendengar berita kematian itu, Nasibah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”

Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”

Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”

Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nasibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum. “Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia menegok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir.

Timbul kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh, Nasibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda.

Peperangan terus saja berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”

Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”

“Beliau tidak kurang suatu apapun…”

“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”

“Engkau masih luka parah, Nasibah….”

“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nasibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nasibah, wanita yang perkasa.”



sumber: dakwatuna.com


2 dari istri Rasulullah....

Masih sekedar wacana.... :)


---------------------------------------------------

Isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Khadidjah radhiyallahu anha

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam punya seorang isteri yang tidak hanya berdiam diri serta bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita yang aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya, beliau pernah menjalin kerjasama bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya, tidak berarti isterinya itu berhenti dari aktifitasnya.

Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah radhiallahu 'anha itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di masa itu, belum ada sumber-sumber dana penunjang dakwah yang bisa diandalkan. Satu-satunya adalah dari kocek seorang donatur setia yaitu isterinya yang pebisnis kondang.

Tentu tidak bisa dibayangkan kalau sebagai pebisnis, sosok Khadijah adalah tipe wanita rumahan yang tidak tahu dunia luar. Sebab bila demikian,
bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya itu dengan baik, sementara dia tidak punya akses informasi sedikit pun di balik tembok rumahnya.

Di sini kita bisa paham bahwa seorang isteri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya. Bahkan meski telah memiliki anak sekalipun, sebab sejarah mencatat bahwa Khadijah radhiallahu 'anha dikaruniai beberapa orang anak dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: 'Aisyah radhiyallahu anha

Sepeninggal Khadijah, Rasulullah beristrikan Aisyah radhiyallahu anha, seorang wanita cerdas, muda dan cantik yang kiprahnya di tengah masyarakat tidak diragukan lagi. Posisinya sebagai seorang isteri tidak menghalanginya dari aktif di tengah masyarakat.

Semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah ikut berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Aisyah adalah guru dari para shahabat yang memapu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam.

Bahkan Aisyah radhiallahu 'anha pun tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam peperangan. Sehingga perang itu disebut dengan perang unta (jamal), karena saat itu Aisyah radhiyallahu anha naik seekor unta.


sumber : ustsarwat.com

Wanita adalah aurat?

Sekedar memperluas wacana..
klo ada yg mendebat, saya g bakalan bisa jawab... krn emang g punya ilmunya... hehehe ^^;

--------------------------------------------------------------------------

Polemik Keshahihan Hadits: Wanita Adalah Aurat

Ada juga yang melarang wanita dengan menggunakan dalil merupakan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.


Diriwayatkan oleh Ibnu Umar marfu`an bahwa, "Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya." (HR Tirmizy)

Dari segi matan, hadits ini memang cukup jelas menyebutkan tentang keluarnya wanita akan menjadikan para syetan beristisyraf. Sehingga secara sekilas di dalam kesan bahwa ketika seorang wanita keluar rumah, maka syetan akan menaikinya dan akan menjadi sumber masalah baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Karena itu banyak ulama yang ingin mengurung wanita di dalam rumah yang menjadikan hadits ini sebagai hadits ''gacoan''. Ke mana-mana yang disebut-sebut adalah hadits ini.

Tapi apakah benar hadits ini 100% shahih tanpa kritik?

Memang kalau Nashiruddin Al-Albani jelas menshahihkan hadits ini. Lihat kitab beliau Silsilah Ahadits Shahihah nomor 2688. Juga terdapat dalam Shahih At-Targhib 246, Shahih Tirmizy 936, Shahih Al-Jami'' 6690, Shahih Ibnu Khuzaemah 1685.

Sebab isi hadits ini sejalan dengan pendapatnya yang ingin mengurung para wanita di dalam rumah.

Namun di sisi lain, tidak sedikit dari para ulama hadits banyak yang mempersoalkan kedudukan hadits ini. Alasannya ada beberapa hal, antara lain:

1. Sesungguhnya isnad hadits ini tidak tersambung kepada Rasululah shallallahu alaihi wasallam, isnadnya munqathi'' (terputus). Karena Hubaib bin Abi Tsabit, salah seorang di antara mata rantai perawinya dikenal sebagai mudallis. Dia tidak mendengar langsung dari Ibnu Umar.

2. Dikatakan hadits ini shahih terdapat dalam Al-Ausath-nya At-Tabrani. Padahal Mu''jam At-Thabrani Al-Awsath bukan kitab sunan. At-Thabarani sendiri tidak meniatkannya sebagai kitab shahih. Beliau justru hanya sekedar mengumpulkan hadits-hadits yang ma''lul (bermasalah). Agar orang-orang tahu kemunkarannya.

Sayangnya, ada orang-orang yang datang kemudian, malah menshahihkan hadits-hadits di dalamnya. Seandainya Imam At-thabarani masih hidup dan tahu apa yang dilakukan orang-orang sekarang ini, pastilah beliau tidak menuliskannya.

3. Imam At-Thabarani pada dasarnya juga tidak meriwayatkan hadits itu di dalam Al-Awsathnya.

4. Dikatakan bahwa Ibnu Khuzaemah juga menshahihkan hadits ini. Padahal perkataan itu tidak lain adalah tadlis. Ibnu Khuzaemah tidak pernah menshahihkan hadits ini. Bahkan beliau menjelaskan ''illatnya. Beliau menuliskan sebuah judul: Babu Ikhtiyari Shalatil Mar''ah fi Baitiha ''ala Shalatiha fil Masjid, in tsabatal hadits.

Kata penutup in tsabatal hadits justru menunjukkan bahwa beliau belum memastikan keshahihan hadits itu.

Dan perdebatan antara para muhaddits tidak ada habisnya tentang keshahihan hadits ini. Sebagian bilang itu hadits shahih tapi yang lain bilang itu hadits yang bermasalah.

Maka ketika ada sebagian kalangan yang ingin mengurung wanita di dalam rumah dengan berdasarkan haditsi ini, tidak semua sepakat membenarkannya.


dr: ustsarwat.com

Wednesday 4 March 2009

Menolak Kerusakan Yang Lebih Besar Di Antara 2 Kerusakan

            وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا

 

            “Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241. Al Maktabah Asy Syamilah)

Tuesday 3 March 2009

demokrasi ada dalam islam?

Demokrasi yg saya maksud di sini adalah satu orang satu suara (ulama dan non ulama sama saja). Ternyata ada yg menyebutkan bahwa hal ini pernah dipraktekkan di zaman sahabat...
Saya jadi merasa perlu memikirkan ulang tulisan saya di postingan bbrp waktu yg lalu nih....

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu Orang Satu Suara (Ulama dan non-Ulama sama saja)
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Sebelum wafat, Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA membentuk tim kecil
yang terdiri dari enam orang sahabat yang masih tersisa dari sepuluh
sahabat yang dijamin masuk surga ditambah Abdullah bin Umar. Tim
bertugas memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
penggantinya. Batas waktu hanya tiga hari, terhitung sejak meninggalnya
Umar.

Tim kecil yang terdiri dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin
bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhum– ini pun
bersidang. Zubair memberikan suaranya kepada Ali. Sa’ad memberikan
suaranya untuk Abdurrahman. Sedangkan Thalhah menyerahkan suaranya
kepada Utsman. Adapun Ibnu Umar, dia tidak mempunyai hak memilih dan
dipilih.

Calon khalifah mengerucut pada tiga orang; Utsman, Ali, dan Abdurrahman.
Tetapi, Abdurrahman mengundurkan diri, sehingga kandidat pun tinggal
Utsman dan Ali. Anggota tim sepakat menyerahkan finalisasi urusan
pemilihan khalifah ini kepada Abdurrahman.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, bahwasanya
Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal. Dia
meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara
Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior,
para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang
belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru
datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.

Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman.
Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan,
maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas
mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah
berdasarkan suara mayoritas.

Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada
yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara
orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada
perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam
sama; masing-masing satu suara. Bagaimanapun, perbedaan derajat ulama
dan non-ulama atau antara orang bertakwa dan tidak bertakwa adalah di
hadapan Allah, bukan di hadapan manusia.

Wallahu a’lam bish-shawab.