Friday 27 March 2009

Fatwa Ibnu Taimiyyah tentang Parlemen

SYAIKHUL ISLAM rahimahullah ditanya :

Tentang seorang yang menjabat suatu jabatan, yang bertugas memutuskan banyak perkara, dan dia harus membayar beban tugas seperti yang biasa terjadi, dan dia memiliki kesempatan untuk menumbangkan semua bentuk kezoliman, bersungguh-sungguh melakukannya sesuai dengan kemampuannya, dia mengetahui jika hal itu ditinggalkannya dan memberikan pada yang lain, lalu dijabat orang lain, maka kezoliman akan merajalela, bahkan bertambah, sementara dia mampu untuk meminimalisir dan meringankan hal tersebut, sehingga sebagiannya sudah mampu diatasi, sementara sebagiannya adalah sektor keuangan yang tidak mungkin digugurkannya, dalam hal ini ia dituntut untuk mengganti bagian yang tidak bisa diatasinya itu, sementara ia lemah dan tidak mampu, tidak mungkin ia lakukan.

Lalu apakah boleh bagi dia untuk tetap pada jabatan dan kebijakannya itu? Sementara niat dan ijtihadnya serta kezaliman yang dihilangkannya sesuai kemampuannya telah diketahui, apakah ia wajib angkat tangan dan berdiam diri terhadap jabatan dan kebijakan tersebut, jika ia tidak mengambilnya, kezaliman akan tetap ada bahkan bertambah, sehingga bolehkah bagi dia untuk tetap menjabat jabatan dan kebijakan tersebut seperti yang telah disebutkan di atas?

Apakah ia berdosa atas kelakuannya ini atau tidak? Jika ia tidak berdosa, apakah ia bisa dituntut untuk melakukan itu atau tidak?, mana perkara yang baik baginya diantara dua hal? Ia terus dengan ijtihadnya dan upayanya menghilangkan dan meminimalisir kezoliman, ataukah ia mendiamkan keberadaan dan bertambahnya kezoliman, apabila rakyat memilih dia, untuk tetap pada posisi itu, karena adanya manfaat yang didapat, dan kesempatan untuk menghilangkan kezoliman, apakah lebih utama dia mendengar kata rakyat, atau dia mundur, sementara rakyat tidak suka dengan sikap itu (sikap mundur), karena mereka mengetahui bahwa kezoliman akan tetap dan bertambah dengan sikap diam dan tidak mau itu.

SYAIKHUL ISLAM menjawab:

Segala puji bagi Allah, ya… apabila ia serius dan bersungguh-sungguh dalam keadilan dan menghilangkan kezoliman sesuai kemampuannya, menjabat jabatan tersebut lebih baik baginya dan lebih banyak maslahatnya bagi kaum muslimin, dari pada jabatan tersebut diisi orang lain, dominasi dia terhadap kebijakan yang ada lebih baik dari pada orang lain, seperti yang telah disebutkan; Sesungguhnya boleh bagi dia untuk tetap pada jabatan dan kebijakan tersebut, dia tidak berdosa, bahkan tetap dan diamnya dia pada jabatan itu lebih baik (afdhal)…..

Kadang-kadang itu menjadi wajib, jika yang lain tidak melaksanakan, sementara ia mampu, maka menebarkan keadilan sesuai dengan kemampuan. Demikian pula dengan menghilangkan kemungkaran-hukumnya fardhu kifayah, yang bisa dilaksanakan setiap orang sesuai kemampuan, apabila yang lainnya tidak mau melaksanakan kewajiban tersbut, dan dia tidak dituntut untuk mengganti sesuatu, sementara keadaan dan situasi masih seperti itu, dan keadaannya itu membuat ia lemah untuk menghilangkan kezoliman itu.

Apa yang diputuskan para penguasa, berupa jabatan dan kerja yang tidak memungkinkan bagi dia untuk menghilangkannya, maka ia tidak dituntut apa-apa, apabila mereka (penguasa) dan para wakilnya meminta harta, yang tidak mungkin dibayar dan diserahkan kecuali dengan cara mengakui posisi-posisi atau pekerjaan tersebut, jika harta itu tidak diserahkan mereka (raja-raja), itu berarti kaum muslimin akan memberikan semua hak kekuasaan penuh atau kebijakan yang tidak adil yang biasa disebut iqthoaat (pengusaan penuh oleh raja terhadap tanah yang dimiliki, raja juga bebas memerintah kaum muslimin sesuai kehendaknya), sehingga kekuasaan akan dipegang oleh mereka yang selalu berbuat zhalim atau menambah kezhalimannya, dan tidak meminimalisirnya, maka mengambil sebagian dari pekerjaan (jabatan) itu dan menyerahkan kepada mereka lebih baik bagi kaum muslimin, dari pada menetapkan dan mengakui semua bentuk jabatan yang ada. Bagi yang tidak mau melakukan hal ini, dan berupaya mewujudkan keadilan dan kebaikan, maka ia lebih dekat (kepada kebenaran) dari yang lainnya, dan pejabat yang melakukan kebaikan ini, berarti ia telah menghilangkan kezhaliman sesuai kemampuan dan menolak kejahatan orang jahat, dengan mengambil sebagian apa yang dituntut dari mereka, apa yang tidak mampu ia lakukan sementara ia berlaku baik kepada kaum muslimin dan tidak berbuat zhalim, maka dia mendapatkan pahala atas itu, dan dia tidak berdosa atas apa yang ia ambil, seperti yang telah disebutkan, dan tidak perlu ada jaminan terhadap apa yang ia ambil, dia juga tidak dosa di dunia ataupun di akhirat, apabila dia termasuk seorang yang bersungguh-sungguh dalam merealisasikan keadilan dan kebaikan sesuai kemampuannya.

Permasalahan ini persisi seperti pengasuh anak yatim (penerima wasiat untuk mengasuh), nadzir waqaf, orang yang bekerja di perpajakan atau perusahaan terbatas, dan yang lainnya, yang memiliki hak mengatur orang lain dengan diberikannya kekuasaan untuk itu, atau sebagai perwakilan, apabila tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan sesuatu yang mengandung maslahat bagi mereka, kecuali dengan menggunakan sebagian harta mereka, yang diperuntukkan bagi penguasa zhalim. Orang tersebut dalam hal ini tidak dianggap bersalah, itu sama halnya dengan apa yang diberikan para penukar jasa uang dengan mengurangi harga, dan harta yang dititipkan pada mereka, sebagaimana mereka memberikan perkerjaan yang diupah dengan barang tidak bergerak, atau pekerjaan yang upahnya diambil dari barang yang dibeli atau dijual, dan setiap yang melakukan sesuatu untuk dirinya atau orang lain, pada zaman ini di negeri ini atau lainnya; ia harus melakukan dan menjalankan pekerjaan tersebut, jika melakukan sesuatu untuk orang lain tidak diperbolehkan -yang di dalam pekerjaan itu ada maslahat- maka bisa dipastikan akan terjadi kerusakan dan hilangnya kemaslahatan bagi mereka.

Orang yang melarang hal ini dengan maksud agar tidak terjadi tindak kezhaliman yang kecil -dan seandainya pendapat ini diterima oleh masyarakat- maka kezhaliman dan kerusakan yang lebih besar akan terjadi. Ini kedudukannya sama dengan mereka yang ada di tengah perjalanan dan dihadang perampok; jika mereka tidak berusaha membujuk agar mengambil sebagian harta yang ada, maka perampok akan mengambil semua harta dan mereka akan dibunuh. Barang siapa mengatakan kepada kafilah dagang tersebut; haram bagi kalian untuk memberikan sesuatu dari harta yang kalian bawa, yang merupakan milik orang banyak -karena dengan perkataannya itu ia ingin menyelamatkan harta yang sedikit- yang ia larang untuk diberikan kepada para perampok. Jika mereka melakukan seperti apa yang dikatakan orang tadi, maka yang sedikit atau banyak dari harta itu akan hilang. Harta itu akan terampas oleh prampok. Sikap ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang berakal sehat, apalagi oleh syariat, karena Rasulullah saw diutus Allah untuk mewujudkan maslahat serta menyempurnakannya dan menghilangkan semua bentuk kerusakan dan meminiamlisirnya sesuai kemampuan.

Yang menjabat jabatan ini dan dengan jabatan itu ia berupaya menghilangkan kezhaliman yang lebih besar dari masyarakat -dan ia tidak akan mungkin menghilangkan kezhaliman tersebut kecuali dengan menjabat jabatan tersebut, dan jika ia tinggalkan maka akan ditempati oleh orang yang suka berbuat zhalim dan kezhaliman tidak akan berkurang- maka dengan memangku jabatan itu, ia akan mendapat pahala, dia tidak berdosa, dan tidak mesti membayar apapun (jaminan) di dunia atau akhirat.

Ini sama dengan orang yang diamanahkan memelihara anak yatim, nazhir waqaf, yang tidak mungkin merealisasikan kemaslahatan bagi yatim kecuali dengan membayar apa yang ditentukan oleh pemerintah yang zhalim. Jika ia tinggalkan hal ini, maka akan diisi oleh orang yang suka berbuat zhalim dan selalu berkeingian untuk zholim. Maka kekuasaan yang diberikan kepadanya merupakan hal yang diperbolehkan dan ia tidak berdosa jika mengambil sebagian harta anak yatim tersebut untuk diberikan kepada penguasa yang zhalim tadi, bahkan kewenangan ini adakalanya wajib ia ambil.

Demikian halnya dengan seorang tentara yang diberi wewenang sederhana, sementara ia tidak mungkin mendapatkan jabatan yang penuh. Di isatu sisi ia membutuhkan kuda, senjata dan biaya -ini semua tidak akan didapatinya kecuali dengan mengambil sebagian dari jabatan tersebut- yang ini dan itu bisa memberikan manfaat kepada kaum muslimin didalam jihad. Jika ada yang mengatakan kepadanya; “Haram baginya untuk mengambil sesuatu dari jabatan itu”, atau ia mengatakan; “Jangan ambil jabatan atau wewenang itu”, setelah itu ia meninggalkannya, lalu diambil oleh orang yang menginginkan kezhaliman dan tidak ada maslahat dan manfaat bagi kaum muslimin, Jelas orang ini salah, bodoh dengan hakikat agama. Bahkan menetapnya tentara turki dan arab, yang mereka ini prajurit paling baik dari yang lain dan manfaatnya lebih banyak bagi kaum muslimin -lebih dekat kepada keadilan dalam kewenangan mereka, yang disertai dengan meminimalisir kezhaliman sesuai kemampuan- itu lebih baik bagi kaum muslimin, dari pada jabatan dan kewenangan itu diambil oleh orang yang tidak bisa mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin.

Mereka yang berijtihad di antara pejabat ini, semua dalam keadilan dan kebaikan sesuai kemampuan, maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan, tidak akan diazab atas apa yang tidak mampu mereka perbuat, dan tidak akan dihisab terhadap apa yang diambil dan dikelolanya, tapi dengan niat dan maksud seperti diatas. Karena meninggalkan sikap seperti itu pasti akan mendatangkan keburukan yang lebih besar dari itu, dan Allah lebih mengetahui.

Majmu’ul Fatawa (30/356-360).

4 comments:

  1. Hmmm... Tinggal beberapa hari lagi. Semoga Allah memilihkan yang terbaik bagi negeri Indonesia. Agar rakyatnya tidak pada memilih Malaysia :-D

    ReplyDelete
  2. jadi,,sebaiknya kita nyontreng apa nih?!
    ^ ^

    ReplyDelete
  3. milih apa yah... ^^;

    kl saya sptnya akan memilih partai islam yg paling bersih dari kasus korupsi.
    tentu saja di antara partai islam yg pernah masuk parlemen dan ckp besar..

    ReplyDelete