Tuesday 4 August 2009

SBFI 13 : Dinar Emas

Seri Belajar Finansial Islami 13
----------------------------------------------------------


Uang secara hakiki, dan secara historis, adalah sesuatu yang dihargai di masyarakat, bukan sesuatu yang dipaksakan untuk dihargai di masyarakat. Uang riil bukanlah uang fiat. Memaksakan nilai, pada uang yang tidak memiliki nilai (tidak dihargai oleh masyarakat), akan menimbulkan permasalahan ekonomi sebagaimana telah disebutkan pada seri sebelumnya. Jika dibalik, maka permasalahan ekonomi dapat dihindari (dikurangi) dengan menjadikan sesuatu yang bernilai (dihargai masyarakat) sebagai uang.

Dalam sejarah, berbagai komoditas pernah memerankan fungsi uang. Di antaranya adalah emas, perak, perunggu, garam, kulit kerang, permen, bahkan rokok. Dari contoh-contoh ini yang paling sesuai dijadikan uang adalah emas dan perak. Sejarah membuktikan merekalah yang paling banyak dipakai di berbagai komunitas dalam kurun waktu yang panjang. Dan, sampai sekarang pun keberhargaan emas (dan perak) disepakati oleh seluruh manusia. Siapa di antara kita yang menolak jika diberi emas (atau perak)?

Uang emas, atau kita sebut saja dinar emas karena uang emas terakhir yang dipakai di dunia adalah Dinar Kekhalifahan Utsmani, adalah uang yang telah terbukti tidak mengalami penurunan nilai seperti uang fiat.

Bagi kita yang percaya hadits shahih, al-Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan uang 1 dinar (emas) kepada Urwah radhiallahu anhu dan memintanya untuk membelikan seekor kambing. Urwah lalu (dg kelihaiannya berdagang), membeli 2 ekor kambing masing-masing 0,5 dinar, lalu menjualnya salah satunya seharga 1 dinar. Urwah pun lalu kembali pada Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan membawa 1 ekor kambing dan 1 dinar, maka beliau pun mendoakan kebaikan bagi Urwah.

Berdasarkan hadits shahih ini maka harga kambing di abad ke 7 berkisar 0,5-1 dinar emas. Merujuk pada sistem dinar emas islam, maka 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas 22 karat. Menurut perhitungan di geraidinar.com, maka saat ini (abad 21), nilai tersebut setara dengan 1,2 juta rupiah. Harga yang cukup untuk membeli 1 ekor kambing! Bisakah anda bayangkan harga suatu barang tidak mengalami kenaikan selama 14 abad? Kalau ada yang menjawab "tidak", itu mungkin karena doktrin ekonomi konvensional sudah terlalu larut dalam sel-sel otaknya :)

Bagi yang menginginkan data yang lebih lengkap silahkan cek bukunya Prof. Roy William Jastram yang berjudul "The Golden Constant". Di dalamnya terdapat data mengenai tangguhnya emas melawan inflasi selama 500 tahun (saya sendiri g punya bukunya dan masih menunggu-nunggu klo ada yg mo ngasih ^^;). Memang, harga emas tidak sama sepanjang masa. Namun kecenderungannya adalah stabil.

Jadi jelas sudah bahwa dinar emas adalah solusi bagi perbaikan sistem ekonomi. Lalu mengapa tidak kunjung diaplikasikan? Sejak kehancuran ekonomi pasca PD I sebenarnya sudah banyak komunitas yang kembali pada uang riil (walaupun bukan emas). Namun akhirnya pemerintah pusat masing-masing komunitas memberantas penggunaan uang riil tersebut karena dianggap ilegal. Padahal sejak penggunaan uang riil, ekonomi komunitas itu membaik, namun kembali hancur setelah pemerintah pusat melarang uang riil.

Dalam konteks yang lebih luas, saya melihat para pendukung ekonomi riba tidak senang dengan kehadiran uang riil (mis. dinar emas), karena akan menghambat praktek riba, bahkan menghapusnya. Uang riil, sebagai uang yang benar-benar memiliki nilai, tidak akan mudah untuk digelembungkan, sedangkan riba adalah sistem yang menginginkan uang menggelembung, agar kaya semakin kaya, dan miskin semakin miskin.

Wallahu a`lam
 


Bahan bacaan:
1. "The Future of Money", Bernard Lietaer (2001), Century.
2. "Islamic Gold Dinar", Ahamad Kameel Mydin Meera (2002), Pelanduk Publications.
3. "Theft of Nations", Ahamad Kameel Mydin Meera (2004), Pelanduk Publications.

No comments:

Post a Comment