Tuesday 22 June 2010

Tawasul, Masalah Aqidah atau Tata Cara Berdoa?

"Doa, apabila diiringi tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya adalah perselisihan furu' menyangkut tata cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah."

Demikian perkataan seorang ulama abad 20. Sebelum kita membahas apakah perkataan tersebut tepat atau tidak, perlu dijelaskan dulu sedikit tentang tawasul dan apa itu tawasul kepada Allah melalui makhlukNya.

Tawasul adalah menggunakan wasilah untuk mencapai sebuah hal. Tawasul yang dibicarakan di sini adalah tawasul "menuju (keridhoan/ganjaran) Allah". Sedangkan maksud "melalui makhluk-Nya" adalah melalui keutamaan salah satu makhlukNya seperti para Nabi dan orang-orang sholeh.

Lalu tepatkah kutipan di awal tulisan? Ada satu hadis yang mendukung diperbolehkannya tawasul melalui salah satu makhluk-Nya.

Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:

اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)

Utsman bin Hanif berkata, "Orang itu pun melakukan hal itu kemudian sembuh"

[HR. Ahmad, para pentahqiq hadis ini mengatakannya shahih. At-Tirmidzi mengatakannya hasan gharib, Ibnu Majah menyebutnya shahih.]

Namun memang, dalil-dalil anjuran tuk meminta langsung kepada Allah jauh lebih banyak. Sehingga masalah tawasul kepada Allah melalui makhluk-Nya menjadi khilafiyah di kalangan ulama, dan mereka menganggapnya bagian dari hal furu' (cabang). Lebih jauh lagi, perbedaan juga terjadi di antara orang yg membolehkan, antara hanya boleh dengan nabi atau boleh juga dengan orang-orang shaleh.

Al-Albani dalam mukaddimah "Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah" karangan Ibnul-Izz ketika membahas 7 permasalahan, menulis, "seluruh hal tersebut berkaitan dengan aqidah, kecuali yang terakhir" [Muqaddimah Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah"].

Yang dimaksud hal terakhir adalah permasalahan terakhir tentang makruhnya bertawasul dengan hak dan kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pun termasuk yang mengakui tentang khilafiyah tawasul ini.
"...Dengan demikian, perbedaannya sangat jelas. Kita tidak akan membahas hal ini. Sebagian orang ada yang membolehkan tawasul dengan orang-orang shaleh. Sebagiannya lagi dengan Nabi saja. Namun, kebanyakan ulama melarang dan memakruhkan hal itu. Permasalahan ini adalah permasalahan fikih. Meskipun, dalam pandangan saya, yang paling benar adalah pendapat jumhur yang memakruhkannya. Dengan demikian, kita tidak mengingkari orang yang melakukannya"
[Majmu' Fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab, hlm 68-69]

Al-Imam Ibnu Taimiyyah (termasuk yg tidak menyetujui tawasul melalui makhluk), setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam permasalahan tawasul, menulis,

"Tidak ada seorang pun yang berpendapat, bahwa orang yang berpendapat dengan pendapat pertama telah menjadi kafir. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya. Karena, permasalahan ini adalah permasalahan tersembunyi, ia tidak mempunyai dalil yang jelas. Kafir terjadi ketika ada orang yang mengingkari hal-hal urgen di dalam agama, hukum-hukum mutawatir yang disepakati, dan lain-lain.

Bahkan, orang yang mengkafirkan dengan perkara-perkara ini harus diberi hukuman dan ta'zir dengan keras, sama dengan orang-orang yang melakukan distorsi di dalam agama...."
[Majmu' Fatawa Syaikhul Islam, 1/106]

Demikianlah kedudukan permasalahan tawasul dalam agama ini. Ulama berbeda pendapat, di mana sebagian membolehkan dan sebagian lagi melarang (memakruhkan). Saya pribadi mengikuti pendapat memakruhkan, dan tidak mengingkari mereka yang melakukannya.

Wallahu a'lam

2 comments:

  1. Terimakasih atas ilmunya... Apakah sampean punya terjemah majmu' fatawa Ibnu Taimiah dalam bntk pdf?Mhn keikhlasanya mengrmkan kpd sy.. Mksh

    ReplyDelete
  2. trimakasih kembali..

    majmu' fatawa ibnu taimiyyah mungkin bisa antum download di http://read.kitabklasik.co.cc/2009/06/majmu-fatawa-ibnu-taimiyah.html
    barakallahu fiikum

    ReplyDelete