Monday 29 November 2010

Lindung Nilai dengan Emas

"With US inflation at 1 or 2 percent, you lose money by holding cash. Gold is the ultimate currency."
(Swiss UBP head of investment strategy, Christian Bernard, tradearabia.com)

Setuju, emas memang mata uang terbaik. Data selama 400 tahun yang diteliti Prof. Roy Jastram membuktikan bahwa daya beli emas cenderung stabil. Bahkan kaum muslimin punya data yang lebih jauh jangka waktunya, yaitu 1400 tahun. Berdasarkan hadis shahih, harga kambing di zaman Nabi saw adalah 1 dinar (sekarang skitar Rp 1,5 juta), dan harga kambing saat ini pun sama, 1 dinar. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan tentang emas sebagai alat lindung nilai (terhadap inflasi).

Alat lindung nilai, bukan alat investasi. Saya lebih suka menyebutnya begitu. Gold is not the goal, emas bukanlah tujuan. Oleh karenanya, emas digunakan untuk melindungi nilai harta/tabungan anda, sampai tujuan anda terpenuhi. Seperti berangkat haji, memulai bisnis (dg modal besar), atau yang lainnya. Kebablasan dalam menganggap emas sebagai alat investasi membuat sebagian kita terjurumus dalam permainan mengambil keuntungan dari naik turunnya harga emas, seperti berkebun emas misalnya. Permainan ini berbau spekulasi. Lebih jauh lagi, di dalamnya terjadi proses penggelembungan uang tanpa ada aktivitas ekonomi riil, yang mana hal seperti itu merupakan penyebab krisis ekonomi dalam sejarah umat manusia.

Kalau mau uang, mau sukses, mau untung, lakukanlah aktivitas ekonomi riil; dagang, bisnis, kerja, dll. Jangan cuma "menunggu" naik turunnya harga. Riba bisa dimaknai sebagai keuntungan tanpa aktivitas ekonomi riil, di mana lawannya adalah jual beli

"...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. al-Baqarah: 275)

Yang tertarik dengan ulasan seputar "tidak kerennya" berkebun emas, silahkan klik di sini, atau di situs ini

Adapun tentang emas sebagai alat lindung nilai, berikut beberapa tips  dari saya

1. Konversikan harta yang ingin anda lindungi sedikit demi sedikit ke emas, tapi jangan terlalu sedikit. Minimal, cobalah mulai mengkonversi ketika cukup untuk membeli emas 10 gram 24 karat.

2. Belilah keping emas 24 karat dari Logam Mulia (BUMN khusus penanganan barang tambang) atau Pegadaian Syariah, jangan beli emas cetakan seperti dinar (22 karat) atau perhiasan. Hal ini akan memotong banyak biaya.

Emas selain 24 karat akan dikenakan pajak 10%. Dan bila melalui proses pencetakan (seperti dinar emas) akan terkena lagi biaya cetak.. Selain itu masih ada lagi service fee dari penjual emas tersebut tentunya.

Dinar emas yang beredar sekarang sebenarnya masih jauh dari menjadi alat tukar, karena banyak biaya yang terdapat di dalamnya. Uang sebagai alat tukar, harusnya terbebas dari biaya-biaya tersebut. Jadi sebaiknya kita fokuskan emas kita sebagai alat lindung nilai, bukan alat tukar.

Tapi, kalau kita termasuk yang sulit untuk membeli langsung dari PT Antam (Logam Mulia) atau Pegadaian Syariah, ya tidak ada salahnya untuk membeli dari agen dinar emas terdekat. Daripada menunggu waktu terlalu lama dan harga emas naik terus :)

3. Salah satu kendala dalam hal ini adalah penyimpanan. Banyak di antara kita mungkin khawatir kalau menyimpan emas di rumah. Tapi sebenarnya kekhawatiran ini bisa dikurangi dengan tidak memberitahukan siapapun bahwa kita mempunyai emas :) Kalau tdk ada yg tahu maka tidak akan ada yang mengincar, apalagi kalau rumah kita bukan gedongan :) Kalau masih khawatir, bisa saja kita membayar safe deposit box di bank. Tapi mulailah memakai jasa tersebut ketika emasnya cukup banyak, dan pilihlah bank yang paling murah memberikan harga sewa.


Happy gold life!

walaupun krisis moneter, Irlandia tetap berupaya menggolkan kebijakan tax neutrality tuk industri keuangan syariah di negerinya.

kebijakan Irlandia memulihkan krisis moneter: kuatkan sektor keuangan syariah

Sunday 28 November 2010

Toilet yang Dikunjungi 70 ribu Orang Sehari...

Cerita tentang Khan yang lain...
Khan yang sangat hebat.
Ketulusan, memang aksesoris amal yang luar biasa


----------

http://www.youtube.com/watch?v=xXFKqoRGdHY

Selamat Hari Guru: My Name is Khan..!


Salman Khan (Sal Khan) bisa memasukkan nama Bill Gates sebagai salah satu penggemarnya. Serius, ini Bill Gates orang terkaya di dunia.

Khan bukan jawara Lembah Silikon, seperti Mark Zuckerberg yang menemukan Facebook atau Andy Rubin yang membuat Google bangkit dengan Android. Khan cuma seorang guru.

Khan menghabiskan waktunya di sebuah bekas toilet mini yang ia sulap menjadi studio rekaman sekaligus perpustakaan. Ruangan berukuran 1,5 x 2 meter itu adalah think thank yang dia sebut: bgC3. Di ruang sesak inilah Khan menghabiskan waktunya bersama dua komputer, headphone di telinga, kaus tidur dan piyama, menunggu siang sambil membaca buku atau membuat video.

“Orang ini luar biasa,” kata Gates dalam surelnya. “Dia mengerjakan banyak hal dengan sumber daya yang amat terbatas.”

Mengapa Khan begitu dikagumi Bill Gates? Gates dan anak laki-lakinya yang berumur 11 tahun, Rory, terpana oleh video-video pendidikan bikinan Khan, dari video aljabar sampai biologi. Yang membuat kagum Gates adalah sosok Khan yang meninggalkan dunia gemerlap sebagai manajer investasi beralih menjadi guru yang mendidik jutaan orang lewat video Internet.


Di kontrakannya yang sempit di Lembah Silikon itulah guru digital ini membikin tutorial video. Hebatnya, semua itu dikerjakannya sendiri, mulai dari menyusun materi, memvideokan, hingga menjadi guru sekaligus. Khan sebenarnya adalah lulusan MBA (master business of administration) Universitas Harvard. Dulu dia manajer keuangan. Tapi hidupnya kini dia serahkan ke dunia pendidikan, yang dia sebut Khan Academy (http://khanacademy.org/). Di Khan Academy itu, dia adalah satu-satunya guru. Dia bisa mengajar apa saja, dari kalkulus, trigonometri, kimia, fisika, biologi, sampai tentang perang Napoleon, dan pelajaran ekonomi dari pabrik cupcake.

Sejauh ini, dari bekas toilet itu, dia telah menciptakan 1.630 tutorial dan ditonton oleh 70 ribu orang per hari. Angka itu nyaris dua kali lipat jumlah mahasiswa Harvard plus Universitas Sanford. “Jumlah pengunjung tertinggi mencapai 200 ribu orang,” kata Khan. Sebuah kesungguhan dan ketulusan yang membuat banyak orang iri, termasuk Bill Gates.

“Keindahan dari pengajaran Khan adalah konsistensi dia,” ujar Gates.

Seperti entrepreneur hebat lainnya, Khan terjun di dunia pendidikan tanpa sengaja. Dia lahir dan besar di New Orleans. Khan putra imigran berdarah Bangladesh dan India. Di bangku kuliah, Khan adalah bintang. Dia punya tiga gelar dari universitas ternama di Amerika Serikat: MBA dari Harvard, bachelor of science bidang matematika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), serta bachelor dan master dari MIT untuk bidang kelistrikan. Dia sempat menjadi presiden kelas di MIT.

Khan jatuh cinta kepada kegiatan mengajar setelah ia menjadi guru sukarelawan untuk anak-anak Brookline. Ini adalah anak-anak yang mengalami sindrom attention deficit disorder, yang kesulitan memusatkan fokus perhatian. Dia juga tersentuh ketika keponakannya, yang kelas VII, bertanya soal konversi berat dalam kilogram. Khan pun mulai membuat tutorial dengan menggunakan teknologi yang sederhana. Ia hanya menggunakan software Yahoo Doodle dan Microsoft Paint berteknologi rendah untuk membuat sketsa, dengan latar belakang hitam dan garis-garis berwarna cerah dan persamaan ketika ia bekerja melalui penjelasannya. Video pertama yang ia buat adalah pelajaran mengonversi gram untuk kilogram yang awalnya hanya ditujukan bagi sepupunya itu. Sejak itulah kecanduan mengajar di sekolah online dimulai.

Khan mulai membuat tutorial dengan menulis program JavaScript sendiri. Dia bekerja di sela-sela waktu istirahatnya sebagai manajer investasi, di antara waktu main bola. Lalu dia rekam dalam bentuk video dan diunggah ke YouTube.

Khan akhirnya benar-benar hidup untuk akademinya setelah mendapat pesangon US$ 1 juta (Rp 9 miliar). Uang itu dia sebut Khan Capital, yang digunakan untuk membiayai hidupnya dengan investasi. Khan berkukuh tak mau mengkomersialkan situsnya. “Saya sudah punya dua mobil Honda, istri yang cantik dan anak yang hebat, serta rumah,” katanya.

Tak ada sekat suku bangsa, ruang, apalagi teritorial. Baik yang ada di ujung Samudra Atlantik hingga pedalaman Hutan Amazon, semua diajari Salman Khan lewat sekolah dunia maya miliknya secara cuma-cuma.

Bagi sebagian orang, matematika memang sudah seperti momok yang sulit dimengerti, apalagi dikuasai. Perasaan yang sama dialami pula oleh seorang bocah Korea berusia 11 tahun.

Tapi, siapa sangka pelajaran yang selalu membuatnya stres tersebut berbalik menjadi pelajaran favoritnya setelah ia membuka situs buatan SalmAn Khan, www.khanacademy.org.

Tidak hanya anak dari Korea, sepasang orang tua di California, AS, tampak tak kuasa meluapkan rasa senang atas kemajuan yang dilakukan anak mereka dalam pelajaran aljabar.

“Saya tidak tahu siapa Anda. Tapi dalam pikiran saya, Anda adalah penyelamat. Anak-anak saya benar-benar bersemangat dengan matematikanya. Terima kasih,” ucapnya di situs yang dikelola seorang pria yang baru menginjak usia 33 tahun.

Khan tak pernah miskin dengan kebaikan. Sebab, pengusaha-pengusaha Lembah Silikon pun membanjiri dia dengan donasi. Indonesia butuh orang-orang baik budi dan tidak sombong seperti dia. Selamat hari guru, 25 November, teman.

*sumber: tempointeraktif.com, http://asrul.blogdetik.com/tag/salman-khan/

Sunday 21 November 2010

Dubes Peru untuk Indonesia masuk Islam http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/11/22/148038-gema-syahadat-para-mualaf-di-masjid-sunda-kelapa

Kisah Ali Menghafal al-Quran

Dari [Ibnu Abbas] bahwa ia berkata; ketika kami berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib datang, dan berkata; ayah dan ibuku kurelakan untuk aku korbankan, Al Qur'an telah hilang dari dadaku, aku tidak mendapati diriku mampu untuk membacanya.

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Wahai Abu Al Hasan, maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang dengannya Allah memberimu manfaat, dan memberikan manfaat kepada orang yang engkau ajari serta memantapkan apa yang telah engkau pelajari dalam hatimu?"

Ia berkata; ya wahai Rasulullah! Ajarkan kepadaku!

Beliau berkata "Apabila tiba malam Jum'at, jika engkau mampu bangun pada sepertiga malam terakhir, ketahuilah bahwa waktu itu merupakan malam yang disaksikan (para malaikat), dan doa pada malam tersebut terkabulkan, dan saudaraku Ya'qub telah berkata kepada anak-anaknya; aku akan memintakan kalian ampunan kepada Tuhanku.

Ucapan ini terus beliau ucapkan hingga datang malam Jum'at. Jika engkau tidak mampu maka bangunlah pada pertengahan malam, jika engkau tidak mampu maka bangunlah pada awal malam, kemudian shalatlah empat raka'at dan engkau baca pada raka'at pertama surat Al Fatihah dan Surat Yaasiin, dan pada raka'at kedua engkau baca Surat Al Fatihah dan Surat Ad Dukhan, dan pada raka'at ketiga engkau baca Surat Al Fatihah dan Alif laam miim As Sajdah, dan pada raka'at keempat engkau baca Surat Al Fatihah dan Surat Tabarak (Surat Al Mulk).

Kemudian apabila engkau telah selesai dari tasyahud maka pujilah Allah dengan sebaik-baiknya, ucapkanlah shalawat kepadaku serta seluruh para nabi dengan sebaik-baiknya, mintakan ampunan untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, serta saudara-saudaramu yang telah mendahuluimu beriman, kemudian ucapkan di akhir semua itu:

"ALLAAHUMMARHAMNII BITARKIL MA'AASHII ABADAN MAA ABQAITANII, WAR HAMNII AN ATAKALLAFA MAA LAA YA'NIINII, WARZUQNII HUSNAN NAZHARI FIIMAA YURDHIIKA 'ANNII.

ALLAAHUMMA BADII'AS SAMAAWATI WAL ARDHI DZAL JALAALI WAL IKRAAM, WAL 'IZZATIL LATII KAA TURAAMU.

AS-ALUKA YAA ALLAAHU, YAA RAHMAANU BI JALAALIKA WA NUURI WAJHIKA AN TULZIMA QALBII HIFZHA KITAABIKA KAMAA 'ALLAMTANII, WARZUQNII AN ATLUWAHU 'ALAN NAHWILLADZII YURDHIIKA 'ANNII.

ALLAAHUMMA BADII'AS SAMAAWAATI WAL ARDHI, DZAL JALAALI WAL IKRAAM, WAL 'IZZILLATII LAA TURAAM, AS-ALUKA YAA ALLAAHU, YAA RAHMAANU BI JALAALIKA WA NUURI WAJHIKA AN TUNAWWIRA BIKITAABIKA BASHARII WA AN TUDHLIQA BIHI LISAANII, WA AN TUFARRIJ BIHI 'AN QALBII, WA AN TASYRAH BIHI SHADRII, WA AN TAGHSIL BIHI BADANII.

FAINNAHU LAA YU'IINUNII 'ALAL HAQQI GHAIRUKA, WA LAA YU`TIIHI ILLAA ANTA, WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BIKA Al 'ALIYYIL 'AZHIIM."

(Ya Allah, rahmatilah aku untuk meninggalkan kemaksiatan selamanya selama Engkau masih menghidupkanku, dan rahmatilah aku untuk tidak memperberat diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku, berilah aku rizki berupa kenikmatan mencermati perkara yang mendatangkan keridhaanMu kepadaku.

Ya Allah, wahai Pencipta langit dan bumi, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan serta keperkasaan yang tidak mungkin bisa dicapai oleh makhluk.

Aku memohon kepadaMu ya Allah, wahai Dzat yang Maha pengasih, dengan kebesaranMu dan cahaya wajahMu agar menetapkan hatiku untuk menghafal kitabMu, sebagaimana Engkau telah mengajarkannya kepadaku, dan berilah aku rizki untuk senantiasa membacanya hingga membuatMu ridha kepadaku.

Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Dzat yang memiliki kebesaran, kemulian dan keperkasaan yang tidak mungkin diinginkan oleh makhluk. Aku memohon kepadaMu ya Allah, wahai Dzat yang Maha pengasih, dengan kebesaranMu dan cahaya wajahMu agar Engkau menyinari hatiku dan membersihkan badanku.

Sesungguhnya tidak ada yang dapat membantuku untuk mendapatkan kebenaran selain Engkau, dan juga tidak ada yang bisa memberi kebenaran itu selainMu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung).

Wahai Abu Al Hasan, engkau lakukan hal tersebut sebanyak tiga Jum'at atau lima atau tujuh niscaya engkau akan dikabulkan dengan izin Allah. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, Allah tidak bakalan lupa memberi seorang mukmin."

Abdullah bin Abbas berkata; demi Allah, Ali tidak berdiam kecuali hanya lima atau tujuh Jum'at hingga ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam majelis tersebut.

Kemudian ia berkata; wahai Rasulullah, dahulu aku hanya mengambil empat ayat atau sekitar itu dan apabila aku membacanya dalam hatiku maka ayat tersebut hilang, dan sekarang aku mempelajari empat puluh ayat atau sekitar itu, dan apabila aku membacanya dalam hati maka seolah-olah Kitab Allah ada di depan mataku. Dan dahulu aku mendengar hadits, apabila aku mengulangnya maka hadits tersebut hilang, dan sekarang aku mendengar beberapa hadits, kemudian apabila aku membacanya maka aku tidak mengurangi satu huruf pun darinya.

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Di saat demikian itu maka engkau adalah seorang mukmin demi Tuhan Pemilik Ka'bah wahai Abu Al Hasan."

Abu Isa (at-Tirmidzi) berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Al Walid bin Muslim.

HR. at-Tirmidzi no.3493


Teks arab:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَعِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ
بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي تَفَلَّتَ هَذَا الْقُرْآنُ مِنْ صَدْرِي فَمَا أَجِدُنِي أَقْدِرُ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا الْحَسَنِ أَفَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِنَّ وَيَنْفَعُ بِهِنَّ مَنْ عَلَّمْتَهُ وَيُثَبِّتُ مَا تَعَلَّمْتَ فِي صَدْرِكَ قَالَ أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَقُومَ فِي ثُلُثِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنَّهَا سَاعَةٌ مَشْهُودَةٌ وَالدُّعَاءُ فِيهَا مُسْتَجَابٌ وَقَدْ قَالَ أَخِي يَعْقُوبُ لِبَنِيهِ
{ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي }
يَقُولُ حَتَّى تَأْتِيَ لَيْلَةُ الْجُمْعَةِ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُمْ فِي وَسَطِهَا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُمْ فِي أَوَّلِهَا فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةِ يس وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَحم الدُّخَانِ وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالم تَنْزِيلُ السَّجْدَةِ وَفِي الرَّكْعَةِ الرَّابِعَةِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَتَبَارَكَ الْمُفَصَّلِ فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ التَّشَهُّدِ فَاحْمَدْ اللَّهَ وَأَحْسِنْ الثَّنَاءَ عَلَى اللَّهِ وَصَلِّ عَلَيَّ وَأَحْسِنْ وَعَلَى سَائِرِ النَّبِيِّينَ وَاسْتَغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلِإِخْوَانِكَ الَّذِينَ سَبَقُوكَ بِالْإِيمَانِ ثُمَّ قُلْ فِي آخِرِ ذَلِكَ

اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي بِتَرْكِ الْمَعَاصِي أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِي وَارْحَمْنِي أَنْ أَتَكَلَّفَ مَا لَا يَعْنِينِي وَارْزُقْنِي حُسْنَ النَّظَرِ فِيمَا يُرْضِيكَ عَنِّي اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَالْعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُلْزِمَ قَلْبِي حِفْظَ كِتَابِكَ كَمَا عَلَّمْتَنِي وَارْزُقْنِي أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي يُرْضِيكَ عَنِّيَ اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَالْعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُنَوِّرَ بِكِتَابِكَ بَصَرِي وَأَنْ تُطْلِقَ بِهِ لِسَانِي وَأَنْ تُفَرِّجَ بِهِ عَنْ قَلْبِي وَأَنْ تَشْرَحَ بِهِ صَدْرِي وَأَنْ تَغْسِلَ بِهِ بَدَنِي فَإِنَّهُ لَا يُعِينُنِي عَلَى الْحَقِّ غَيْرُكَ وَلَا يُؤْتِيهِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ

 يَا أَبَا الْحَسَنِ تَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا تُجَبْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ مَا أَخْطَأَ مُؤْمِنًا قَطُّ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ فَوَاللَّهِ مَا لَبِثَ عَلِيٌّ إِلَّا خَمْسًا أَوْ سَبْعًا حَتَّى جَاءَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مِثْلِ ذَلِكَ الْمَجْلِسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ فِيمَا خَلَا لَا آخُذُ إِلَّا أَرْبَعَ آيَاتٍ أَوْ نَحْوَهُنَّ وَإِذَا قَرَأْتُهُنَّ عَلَى نَفْسِي تَفَلَّتْنَ وَأَنَا أَتَعَلَّمُ الْيَوْمَ أَرْبَعِينَ آيَةً أَوْ نَحْوَهَا وَإِذَا قَرَأْتُهَا عَلَى نَفْسِي فَكَأَنَّمَا كِتَابُ اللَّهِ بَيْنَ عَيْنَيَّ وَلَقَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ الْحَدِيثَ فَإِذَا رَدَّدْتُهُ تَفَلَّتَ وَأَنَا الْيَوْمَ أَسْمَعُ الْأَحَادِيثَ فَإِذَا تَحَدَّثْتُ بِهَا لَمْ أَخْرِمْ مِنْهَا حَرْفًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ مُؤْمِنٌ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ يَا أَبَا الْحَسَنِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ الْوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ


Perawi:
Abdullah bin Abbas : Sahabat

Atha' bin Abi Rabbah al-Aslam : Tabi'in kalangan pertengahan.
Ibnu Hibban menyebutkannya dalam "ats-Tsiqaat"
Abu Zur'ah menyebutnya tsiqah (terpercaya)
Termasuk perawi al-Bukhari

Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij: Tabi'in.
Adz-Dzahabi menyebutnya sebagai ahli ilmu.
Al-'Ajli menyebutnya tsiqah
Termasuk perawi al-Bukhari

Al-Walid bin Muslim: Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan.
Ibnu Hajr menyebutnya tsiqah
Termasuk perawi al-Bukhari

Sulaiman bin Abdurrahman bin Isa bin Maimum:
Abu Dawud menyebutnya "tsiqah yuhti"
Termasuk perawi al-Bukhari

Ahmad bin al-Hasan bin Junaidab
Adz-Dzahabi menyebutnya al-hafizh (hafal 100ribu hadis)
Abu Hatim menyebutnya shaduq (benar)
Termasuk perawi al-Bukhari


sumber: http://lidwa.com/app/ dengan sedikit penyesuaian

Sunday 14 November 2010

WARNING!! segera DELETE klo terima PM, "heyy! (username), do we know from some place isn’t it? so here’s a special video i did for you, ull recall me!, pls holler me back!!!". PM berbahaya!! sdh beberapa ID kena

Ketika Ibnu Abbas Berbeda Lebaran dengan Muawiyah...

Satu lagi dalil yang menguatkan lebaran per wilayah..

Hasil obrolan pagi di mobil menuju kantor dengan ortu...

Trus dikroscek ke situs hadis pas di kantor...

Here we go.....

dari Kuraib bahwasanya; Ummul Fadhl binti Al Harits mengutusnya menghadap Mu'awiyah di Syam.

Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum'at.

Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan. Maka [Abdullah bin Abbas] bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, "Kapan kalian melihatnya?" Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jum'at."

Ia bertanya lagi, "Apakah kamu yang melihatnya?" Aku menjawab, "Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu'awiyah."

Ibnu Abbas berkata, "Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kamipun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal."

Aku pun bertanya, "Tidakkah cukup bagimu untuk mengikuti ru'yah Mu'awiyah dan puasanya?" Ia menjawab, "Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada kami."


Hadis riwayat Muslim no.1819
sumber : http://lidwa.com/app/

GDP Tinggi Tak Selalu Mengurangi Pengangguran

Salah satu kesalahan ekonomi konvensional, GDP bagus = kesejahteraan bagus. Kenyataannya tidak selalu begitu.


-------------------------------

Oleh: Mosi Retnani Fajarwati
Ekonomi - Sabtu, 13 November 2010 | 15:24 WIB
 
INILAH.COM, Bandung - Teori yang mengatakan pertumbuhan ekonomi (GDP) tinggi bakal bisa mengurangi pengangguran ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan.

"Apakah benar setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 300-400 ribu tenaga kerja, ini kan teori dan teori itu tidak berlaku di negara berkembang," ujar Kepala Biro Humas dan Hukum Badan Pusat Statistik (BPS), Sairi Hasbullah dalam acara Workshop Wartawan 2010 di Bandung, Sabtu
(13/11).

Ia melanjutkan teori itu terpatahkan dengan kondisi riil di lapangan terutama di Indonesia, di mana kondisi pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi justru membuat angka pengangguran juga meningkat.

Menurutnya, dengan semakin tingginya angka pertumbuhan ekonomi yang diikuti peningkatan kesejahteraan, justru memicu pelaku usaha untuk meningkatkan nilai tambah barangnya dengan menggunakan teknologi, bukan dengan menambah jumlah tenaga kerjanya.

"Pertumbuhan ekonomi tinggi, pengangguran bisa lebih tinggi. Contohnya di pertanian, semakin kaya petani maka dia justru akan semakin memperkaya teknologinya. Nggak pakai buruh lagi, karena investasinya padat modal. Nah, inilah yang justru meningkatkan angka pengangguran," paparnya.

Demikian pula saat keadaan sebaliknya berlaku, yaitu ketika pertumbuhan ekonomi lesu, justru angka pengangguran juga ikut turun. Pasalnya, ketika sektor formal tidak mampu lagi mempekerjakan orang, justru orang-orang akan beralih ke sektor non formal seperti UMKM sehingga mengurangi pengangguran.

"Jika pertumbuhan ekonomi turun, biasanya pengangguran juga turun karena orang-orang yang kena PHK akan beralih sektor informal daripada tidak bekerja. Dan proses kenyataan-kenyataan inilah yang selalu diceritakan oleh data statistik," pungkasnya. [cms]

Wednesday 10 November 2010

Jadi, Idul Adha Ikut Siapa?

Terserah deh ikut siapa, yang penting jangan ribut. Saya rasa memang khilafiyah kok, jadi ya susah mau disatuin.

Apakah kita ikut rukyatnya Arab Saudi atau pemerintah sendiri, ya masing-masing punya dalil.

Klo yg ikut Saudi bilang, "kan salah satu hikmah puasa 'arafah adalah bertoleransi terhadap jamaah haji yg wukuf di arafah. g lucu dong klo puasanya g bareng dg mereka"

Maka saya yg ikut pemerintah akan bilang, "klo tetangga2 kita pada beda dengan Saudi lebarannya, masa' kita ikut Saudi dan tidak bertoleransi dg tetangga-tetangga kita."

So, kita mo pilih toleransi sama siapa?

Bagi saya sih dalilnya cukup jelas,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.”
[HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Shahih menurut al-Albani]

Jadi puasa n qurban dilaksanakan ber"kalian" alias bersama-sama. Klo beda sendiri yah hilanglah hikmah syiarnya. Lembaga Fatwa Saudi aja nyuruhnya berlebaran bareng negara masing2.

Lagian, ketika Islam menguasai dunia, saya belum pernah denger ceritanya bahwa kaum muslimin di Mesir harus nungguin info rukyatnya kaum muslimin di Mekkah. Jadi tampaknya kaum salaf pun berlebaran sesuai daerah masing2.

Tp saya g maksain pendapat kok, yang menganggap pendapat ikut Saudi lebih kuat, ya tafadhdhol asal jangan ribut (termasuk menjadikan bagian komentar artikel ini sebagai lahan ribut, hehehe)

Bagi yang tertarik dengan kajian fikih seputar kapan sebaiknya berlebaran, silahkan baca http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/231


Salam perdamaian dan persatuan

Tuesday 9 November 2010

Hare Gene Kagak Qurban?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (yang artinya) : “ Siapa yang memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati tempat sholat kami"
[Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, dan sanadnya hasan]

Tukang sayur di kampung aja nabung tiap hari beberapa ribu supaya bisa qurban pas idul adha...

"Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu"
[HR. al-Bukhari]











-------------------
buat yg mo qurban, makruh hukumnya memotong rambut dan kuku mulai tanggal 1 dzulhijjah sampai qurbannya disembelih.

"Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong -pent) rambut dan kukunya." [HR. Muslim]

Monday 8 November 2010

Fatwa DSN-MUI Banyak Diminati Asing

Merupakan pengalaman menarik bisa ikut Meeting on Fatwa DSN-MUI skitar 2 pekan lalu, terkait dengan permohonan shariah approval sebuah perusahaan retakaful Malaysia berkenaan dengan produknya. Secara pribadi saya memang melihat fatwa DSN-MUI memiliki nilai kemoderatan tersendiri.



-------------------------------link sumber---------------------------

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dunia perbankan nasional benar-benar tengah disorot masyarakat global. Tak hanya para investor asing yang tertarik menanamkan modalnya dalam bisnis perbankan syariah, namun aspek fatwa syariah Indonesia pun makin diminati mancanegara.

Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, KH Ma’ruf Amin, mengatakan DSN sudah banyak menerima permohonan untuk memberikan fatwa terhadap produk perbankan asing. “Saat ini ada perusahaan dari Amerika Serikat yang meminta approval soal produk pasar komoditasnya,” ungkapnya kepada Republika, di Jakarta, Senin (9/11).

Dia melanjutkan, sebelumnya DSN juga sudah melayani permohonan fatwa dari perusahaan perbankan syariah dari Inggris, Korea, Australia, dan Malaysia. Para perusahaan asing tersebut tertarik dengan fatwa DSN lantaran prinsip kehati-hatian dan nuansa fatwa yang moderat dibandingkan fatwa dari Malaysia atau Arab Saudi.

Masyarakat global, lanjut Ma’ruf, cenderung memposisikan Indonesia sebagai negara yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan secara moderat. Ibarat dua bandul antara Malaysia yang cenderung liberal dan Arab Saudi yang terlalu rigid, fatwa syariah perbankan Indonesia berada di tengah-tengah.

Dikatakan, dalam mengeluarkan fatwa syariah terhadap produk perbankan, Malaysia cenderung mudah memberi label halal terhadap sesuatu yang masih mengandung kadar haram walaupun sedikit. Sebaliknya, Arab Saudi cenderung lebih tegas memvonis haram terhadap sesuatu yang mengandung kadar haram.

Sementara di Indonesia, terang Ma’ruf, DSN senantiasa mengedepankan prinsip //tafrikul haram ‘anil halal// atau memisahkan dan membuang yang haram dari yang halal sebelum mengeluarkan fatwa. “Jadi kalau ada yang meminta approval dengan dua konsep yang diajukan halal atau haramnya, kita berikan item ketiga dengan lebih dulu memisahkan yang haram dari yang halal. Prinsip moderat dan penuh kehati-hatian inilah yang membuat fatwa DSN mengglobal,” papar Ma’ruf.

Ma’ruf berharap, ke depan fatwa-fatwa DSN untuk produk perbankan bisa lebih mendunia seperti sertifikasi halal pada produk makanan. Sertifikasi halal produk makanan yang dikeluarkan MUI sudah lebih dulu digunakan di berbagai negara karena alasan kemoderatan dan kehati-hatiannya. Sudah banyak negara-negara Barat dan Eropa serta Asia yang menggunakan sertifikasi halal MUI untuk menjual produk makanan di negeri mereka.

“Insya Allah dengan prinsip yang tetap mengedepankan kaidah fikih, fatwa-fatwa DSN untuk produk perbankan juga bisa dipercaya dunia seperti sertifikasi halal MUI,” imbuh Ma’ruf.

-----------------------------------

*: Dewan Syariah Nasional, lembaga di bahwa MUI yang khusus menangani fatwa seputar keuangan syariah

Sunday 7 November 2010

Mengapa KPR Syariah?

Jawaban seorang muslim tentu, "karena saya muslim".

Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kehidupan ini dijalani dalam koridor yang telah ditentukanNya. Halal-haram adalah patokan utama, bukan selera, atau bahkan sekedar kemudahan.

Terlebih lagi, jika halal-haram yang dimaksud menyangkut dosa besar. Ya, riba adalah dosa besar.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Jauhilah tujuh (dosa besar) yang membinasakan." Para sahabat bertanya; 'Ya Rasulullah, apa sajakah itu? ' Nabi menjawab; "menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukmin baik-baik melakukan perzinahan."(HR. al-Bukhari no.6351)

Yang namanya dosa besar, maka tidak akan hilang kecuali dengan taubat. Dan yang namanya taubat, maka tidak akan diterima kecuali dengan meninggalkan perbuatannya. Jadi, sudah siapkah kita bertaubat alias kembali kepada sistem yang diridhai-Nya? Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing.

Terkait dengan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) Syariah, memang pada kenyataannya ia lebih mahal daripada KPR ribawi (konvensional). Salah satunya dikarenakan kebanyakan KPR Syariah berbasis jual beli, sehingga cicilan bersifat tetap sepanjang periode pembayaran. Ini berbeda dengan KPR ribawi yang cicilannya bisa berubah-ubah sesuai dengan tingkat suku bunga BI. Oleh karena itulah, KPR Syariah perlu memasukkan unsur-unsur tingkat inflasi di harga jualnya, untuk mengantisipasi kerugian-kerugian yang mungkin dialami bank di masa mendatang.

Tentu saja, seorang muslim yang menginginkan kebaikan, tidak menjadikan kelebihan harga KPR Syariah sebagai hambatan berarti. Untuk apa memiliki rumah jika melalui cara yang haram?

Lebih jauh lagi, bukankah setiap perjuangan memang memerlukan pengorbanan? Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam saja, yang merupakan kekasihNya, masih diberikan cobaan yang begitu besar dalam perjuangannya. Apakah kita ingin menggapai surga tanpa pengorbanan? Ah, kok jadi murah sekali rasanya tiket ke surga.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. al-Ankabut: 2)

Nah, bagi yang sudah siap berkorban dan harusnya semua siap berkorban, berikut ini adalah tips-tips dalam mengajukan KPR Syariah. Bukan dari saya :), tapi dari Bang Ali Hozi, yang sudah lebih lama di dunia praktis perbankan syariah.

Semoga bermanfaat.


------------------------


1. Jangan Terburu-buru dalam Memilih Rumah, Sediakan Waktu Yang Cukup.
Setiap keluarga yang ingin memilih rumah melalui KPR Syariah haruslah mempunyai waktu yang cukup untuk memilih rumah, sesuaikan dengan kriteria yang diinginkan oleh KPR Bank Syariah. Seringkali karena terburu-buru sebuah keluarga tidak lagi memperhatikan kondisi dan lokasi rumah tsb , diajukan ke bank syariah dan ditolak.

2. Perhatikan Kebutuhan Luas Rumah jangan sampai Mubazir.
Setiap keluarga yang ingin memilih rumah melalui KPR Syariah untuk tempat tinggal, haruslah memperhatikan kebutuhan luas rumah yang akan dibeli. Berapa kamar yang dibutuhkan untuk anggota keluarga , jangan sampai mubazir karena dalam ajaran Islam memiliki rumah tidak boleh banyak kamar yang kosong. Selain itu juga akan menambah besar biaya yang harus dikeluarkan kalau rumah yang dibeli terlalu besar.

3.Menghitung Plafond KPR Syariah yang sesuai dg Pendapatan Anda
Sebelum memilih berapa besar nominal KPR Syariah yang akan Anda ajukan , anda harus menghitung terlebih dahulu berapa besar plafond KPR Syariah yang akan Anda dapatkan sesuai dengan pendapatan Anda setiap bulan, apakah dari gaji tetap ataupun penghasilan dari usaha Anda.

Dan biasanya Bank Syariah menganut kaidah angsuran tidak boleh lebih dari 35%-40% dari total pendapatan Anda (take home pay). Tanyakan ke marketing bank syariah kalau pendapatan sekian , akan mendapatkan berapa besar plafond KPR Syariah  dan dengan jangka waktu berapa lama?

4.Anggaran Dana
Masalah anggaran dana seringkali menjadi kendala bagi setiap keluarga yang ingin mengambil KPR Syariah, karena kurang pengetahuan tentang masalah menghitung berapa dana yang harus disiapkan dalam mengambil KPR Syariah  Sebenarnya baik mengambil KPR Bank Syariah maupun Bank Konvensional besarannya dana yang harus disiapkan tidak jauh berbeda,

Anggaran dana biasanya yang harus disiapkan adalah untuk membayar biaya-biaya sbb :
1.Biaya Adm dan Provisi
2.Biaya Asuransi Jiwa dan Kebakaran
3.Biaya Survei
4.Biaya Akad Notaris
5.Biaya AJB dan Biaya Balik Nama
6.Pajak BPHTB yang harus disetor ke kas negara.

Diskusikan dengan marketing bank syariah semua besaran biaya tsb dan juga dalam menghitung plafond KPR Syariah , tidak usah sungkan untuk bertanya, saya yakin mereka akan menjawab dengan senang hati.

5. Lokasi Rumah
Setelah mempersiapkan keempat hal tsb di atas barulah Anda bisa memilih lokasi rumah yang sesuai dengan Kebutuhan Anda , Plafond KPR Syariah Anda dan juga sesuai dengan Anggaran Dana Anda.   Untuk memilih lokasi rumah dengan cepat, tepat dan menghemat waktu dan saya ada beberapa tips yaitu :
1.Melihat iklan perumahan di surat kabar
2.Mengunjungi pameran – pameran rumah seperti REI Expo.
3.Memanfaatkan bantuan broker-broker property
4.Bertanya dengan pihak marketing bank syariah, karena biasanya mereka mempunyai kenalan relasi developer perumahan.

6.Legalitas
Tips yang terakhir dalam  mengajukan  KPR Syariah adalah memperhatikan aspek legalitas rumah yang akan dibeli, pastikan rumah yang dibeli sudah bersertipikat tersendiri dan tidak bermasalah,  bukti-bukti pembayaran PBB dan juga ada IMB nya. Aman dari penggusuran atau pemotongan lahan dan tidak bersengketa atau bermasalah.

---------http://alihozi77.blogspot.com/2010/05/tips-tips-mengajukan-kpr-syariah-untuk.html-----


Why Shariah?

Katanya sih tulisan bagus dari New York Times.. ditulis oleh seorang profesor bidang hukum dari Harvard University
saya belum baca semua, tapi dari cuplikan berikut kykny emang OK. jadi ya, dicopy dulu ke mari..

note: tulisan lama, maret 2008

-------------- cuplikan ---------------------

In fact, for most of its history, Islamic law offered the most liberal and humane legal principles available anywhere in the world. Today, when we invoke the harsh punishments prescribed by Shariah for a handful of offenses, we rarely acknowledge the high standards of proof necessary for their implementation. Before an adultery conviction can typically be obtained, for example, the accused must confess four times or four adult male witnesses of good character must testify that they directly observed the sex act. The extremes of our own legal system — like life sentences for relatively minor drug crimes, in some cases — are routinely ignored. We neglect to mention the recent vintage of our tentative improvements in family law. It sometimes seems as if we need Shariah as Westerners have long needed Islam: as a canvas on which to project our ideas of the horrible, and as a foil to make us look good

----------------------------------------------------

Published: March 16, 2008

Last month, Rowan Williams, the archbishop of Canterbury, gave a nuanced, scholarly lecture in London about whether the British legal system should allow non-Christian courts to decide certain matters of family law. Britain has no constitutional separation of church and state. The archbishop noted that “the law of the Church of England is the law of the land” there; indeed, ecclesiastical courts that once handled marriage and divorce are still integrated into the British legal system, deciding matters of church property and doctrine. His tentative suggestion was that, subject to the agreement of all parties and the strict requirement of protecting equal rights for women, it might be a good idea to consider allowing Islamic and Orthodox Jewish courts to handle marriage and divorce


Then all hell broke loose. From politicians across the spectrum to senior church figures and the ubiquitous British tabloids came calls for the leader of the world’s second largest Christian denomination to issue a retraction or even resign. Williams has spent the last couple of years trying to hold together the global Anglican Communion in the face of continuing controversies about ordaining gay priests and recognizing same-sex marriages. Yet little in that contentious battle subjected him to the kind of outcry that his reference to religious courts unleashed. Needless to say, the outrage was not occasioned by Williams’s mention of Orthodox Jewish law. For the purposes of public discussion, it was the word “Shariah” that was radioactive.

In some sense, the outrage about according a degree of official status to Shariah in a Western country should come as no surprise. No legal system has ever had worse press. To many, the word “Shariah” conjures horrors of hands cut off, adulterers stoned and women oppressed. By contrast, who today remembers that the much-loved English common law called for execution as punishment for hundreds of crimes, including theft of any object worth five shillings or more? How many know that until the 18th century, the laws of most European countries authorized torture as an official component of the criminal-justice system? As for sexism, the common law long denied married women any property rights or indeed legal personality apart from their husbands. When the British applied their law to Muslims in place of Shariah, as they did in some colonies, the result was to strip married women of the property that Islamic law had always granted them — hardly progress toward equality of the sexes.

In fact, for most of its history, Islamic law offered the most liberal and humane legal principles available anywhere in the world. Today, when we invoke the harsh punishments prescribed by Shariah for a handful of offenses, we rarely acknowledge the high standards of proof necessary for their implementation. Before an adultery conviction can typically be obtained, for example, the accused must confess four times or four adult male witnesses of good character must testify that they directly observed the sex act. The extremes of our own legal system — like life sentences for relatively minor drug crimes, in some cases — are routinely ignored. We neglect to mention the recent vintage of our tentative improvements in family law. It sometimes seems as if we need Shariah as Westerners have long needed Islam: as a canvas on which to project our ideas of the horrible, and as a foil to make us look good.

In the Muslim world, on the other hand, the reputation of Shariah has undergone an extraordinary revival in recent years. A century ago, forward-looking Muslims thought of Shariah as outdated, in need of reform or maybe abandonment. Today, 66 percent of Egyptians, 60 percent of Pakistanis and 54 percent of Jordanians say that Shariah should be the only source of legislation in their countries. Islamist political parties, like those associated with the transnational Muslim Brotherhood, make the adoption of Shariah the most prominent plank in their political platforms. And the message resonates. Wherever Islamists have been allowed to run for office in Arabic-speaking countries, they have tended to win almost as many seats as the governments have let them contest. The Islamist movement in its various incarnations — from moderate to radical — is easily the fastest growing and most vital in the Muslim world; the return to Shariah is its calling card.

How is it that what so many Westerners see as the most unappealing and premodern aspect of Islam is, to many Muslims, the vibrant, attractive core of a global movement of Islamic revival? The explanation surely must go beyond the oversimplified assumption that Muslims want to use Shariah to reverse feminism and control women — especially since large numbers of women support the Islamists in general and the ideal of Shariah in particular.

Is Shariah the Rule of Law?

One reason for the divergence between Western and Muslim views of Shariah is that we are not all using the word to mean the same thing. Although it is commonplace to use the word “Shariah” and the phrase “Islamic law” interchangeably, this prosaic English translation does not capture the full set of associations that the term “Shariah” conjures for the believer. Shariah, properly understood, is not just a set of legal rules. To believing Muslims, it is something deeper and higher, infused with moral and metaphysical purpose. At its core, Shariah represents the idea that all human beings — and all human governments — are subject to justice under the law.

In fact, “Shariah” is not the word traditionally used in Arabic to refer to the processes of Islamic legal reasoning or the rulings produced through it: that word is fiqh, meaning something like Islamic jurisprudence. The word “Shariah” connotes a connection to the divine, a set of unchanging beliefs and principles that order life in accordance with God’s will. Westerners typically imagine that Shariah advocates simply want to use the Koran as their legal code. But the reality is much more complicated. Islamist politicians tend to be very vague about exactly what it would mean for Shariah to be the source for the law of the land — and with good reason, because just adopting such a principle would not determine how the legal system would actually operate.

Shariah is best understood as a kind of higher law, albeit one that includes some specific, worldly commands. All Muslims would agree, for example, that it prohibits lending money at interest — though not investments in which risks and returns are shared; and the ban on Muslims drinking alcohol is an example of an unequivocal ritual prohibition, even for liberal interpreters of the faith. Some rules associated with Shariah are undoubtedly old-fashioned and harsh. Men and women are treated unequally, for example, by making it hard for women to initiate divorce without forfeiting alimony. The prohibition on sodomy, though historically often unenforced, makes recognition of same-sex relationships difficult to contemplate. But Shariah also prohibits bribery or special favors in court. It demands equal treatment for rich and poor. It condemns the vigilante-style honor killings that still occur in some Middle Eastern countries. And it protects everyone’s property — including women’s — from being taken from them. Unlike in Iran, where wearing a head scarf is legally mandated and enforced by special religious police, the Islamist view in most other Muslim countries is that the head scarf is one way of implementing the religious duty to dress modestly — a desirable social norm, not an enforceable legal rule. And mandating capital punishment for apostasy is not on the agenda of most elected Islamists. For many Muslims today, living in corrupt autocracies, the call for Shariah is not a call for sexism, obscurantism or savage punishment but for an Islamic version of what the West considers its most prized principle of political justice: the rule of law.

The Sway of the Scholars

To understand Shariah’s deep appeal, we need to ask a crucial question that is rarely addressed in the West: What, in fact, is the system of Islamic law? In his lifetime, the Prophet Muhammad was both the religious and the political leader of the community of Muslim believers. His revelation, the Koran, contained some laws, pertaining especially to ritual matters and inheritance; but it was not primarily a legal book and did not include a lengthy legal code of the kind that can be found in parts of the Hebrew Bible. When the first generation of believers needed guidance on a subject that was not addressed by revelation, they went directly to Muhammad. He either answered of his own accord or, if he was unsure, awaited divine guidance in the form of a new revelation.

With the death of Muhammad, divine revelation to the Muslim community stopped. The role of the political-religious leader passed to a series of caliphs (Arabic for “substitute”) who stood in the prophet’s stead. That left the caliph in a tricky position when it came to resolving difficult legal matters. The caliph possessed Muhammad’s authority but not his access to revelation. It also left the community in something of a bind. If the Koran did not speak clearly to a particular question, how was the law to be determined?

The answer that developed over the first couple of centuries of Islam was that the Koran could be supplemented by reference to the prophet’s life — his sunna, his path. (The word “sunna” is the source of the designation Sunni — one who follows the prophet’s path.) His actions and words were captured in an oral tradition, beginning presumably with a person who witnessed the action or statement firsthand. Accurate reports had to be distinguished from false ones. But of course even a trustworthy report on a particular situation could not directly resolve most new legal problems that arose later. To address such problems, it was necessary to reason by analogy from one situation to another. There was also the possibility that a communal consensus existed on what to do under particular circumstances, and that, too, was thought to have substantial weight.

This fourfold combination — the Koran, the path of the prophet as captured in the collections of reports, analogical reasoning and consensus — amounted to a basis for a legal system. But who would be able to say how these four factors fit together? Indeed, who had the authority to say that these factors and not others formed the sources of the law? The first four caliphs, who knew the prophet personally, might have been able to make this claim for themselves. But after them, the caliphs were faced with a growing group of specialists who asserted that they, collectively, could ascertain the law from the available sources. This self-appointed group came to be known as the scholars — and over the course of a few generations, they got the caliphs to acknowledge them as the guardians of the law. By interpreting a law that originated with God, they gained control over the legal system as it actually existed. That made them, and not the caliphs, into “the heirs of the prophets.”

Among the Sunnis, this model took effect very early and persisted until modern times. For the Shiites, who believe that the succession of power followed the prophet’s lineage, the prophet had several successors who claimed extraordinary divine authority. Once they were gone, however, the Shiite scholars came to occupy a role not unlike that of their Sunni counterparts.

Under the constitutional theory that the scholars developed to explain the division of labor in the Islamic state, the caliph had paramount responsibility to fulfill the divine injunction to “command the right and prohibit the wrong.” But this was not a task he could accomplish on his own. It required him to delegate responsibility to scholarly judges, who would apply God’s law as they interpreted it. The caliph could promote or fire them as he wished, but he could not dictate legal results: judicial authority came from the caliph, but the law came from the scholars.

The caliphs — and eventually the sultans who came to rule once the caliphate lost most of its worldly influence — still had plenty of power. They handled foreign affairs more or less at their discretion. And they could also issue what were effectively administrative regulations — provided these regulations did not contradict what the scholars said Shariah required. The regulations addressed areas where Shariah was silent. They also enabled the state to regulate social conduct without having to put every case before the courts, where convictions would often be impossible to obtain because of the strict standards of proof required for punishment. As a result of these regulations, many legal matters (perhaps most) fell outside the rules given specifically by Shariah.

The upshot is that the system of Islamic law as it came to exist allowed a great deal of leeway. That is why today’s advocates of Shariah as the source of law are not actually recommending the adoption of a comprehensive legal code derived from or dictated by Shariah — because nothing so comprehensive has ever existed in Islamic history. To the Islamist politicians who advocate it or for the public that supports it, Shariah generally means something else. It means establishing a legal system in which God’s law sets the ground rules, authorizing and validating everyday laws passed by an elected legislature. In other words, for them, Shariah is expected to function as something like a modern constitution.

The Rights of Humans and the Rights of God

So in contemporary Islamic politics, the call for Shariah does not only or primarily mean mandating the veiling of women or the use of corporal punishment — it has an essential constitutional dimension as well. But what is the particular appeal of placing Shariah above ordinary law?

The answer lies in a little-remarked feature of traditional Islamic government: that a state under Shariah was, for more than a thousand years, subject to a version of the rule of law. And as a rule-of-law government, the traditional Islamic state had an advantage that has been lost in the dictatorships and autocratic monarchies that have governed so much of the Muslim world for the last century. Islamic government was legitimate, in the dual sense that it generally respected the individual legal rights of its subjects and was seen by them as doing so. These individual legal rights, known as “the rights of humans” (in contrast to “the rights of God” to such things as ritual obedience), included basic entitlements to life, property and legal process — the protections from arbitrary government oppression sought by people all over the world for centuries.

Of course, merely declaring the ruler subject to the law was not enough on its own; the ruler actually had to follow the law. For that, he needed incentives. And as it happened, the system of government gave him a big one, in the form of a balance of power with the scholars. The ruler might be able to use pressure once in a while to get the results he wanted in particular cases. But because the scholars were in charge of the law, and he was not, the ruler could pervert the course of justice only at the high cost of being seen to violate God’s law — thereby undermining the very basis of his rule.

In practice, the scholars’ leverage to demand respect for the law came from the fact that the caliphate was not hereditary as of right. That afforded the scholars major influence at the transitional moments when a caliph was being chosen or challenged. On taking office, a new ruler — even one designated by his dead predecessor — had to fend off competing claimants. The first thing he would need was affirmation of the legitimacy of his assumption of power. The scholars were prepared to offer just that, in exchange for the ruler’s promise to follow the law.

Once in office, rulers faced the inevitable threat of invasion or a palace coup. The caliph would need the scholars to declare a religious obligation to protect the state in a defensive jihad. Having the scholars on his side in times of crisis was a tremendous asset for the ruler who could be said to follow the law. Even if the ruler was not law-abiding, the scholars still did not spontaneously declare a sitting caliph disqualified. This would have been foolish, especially in view of the fact that the scholars had no armies at their disposal and the sitting caliph did. But their silence could easily be interpreted as an invitation for a challenger to step forward and be validated.

The scholars’ insistence that the ruler obey Shariah was motivated largely by their belief that it was God’s will. But it was God’s will as they interpreted it. As a confident, self-defined elite that controlled and administered the law according to well-settled rules, the scholars were agents of stability and predictability — crucial in societies where the transition from one ruler to the next could be disorderly and even violent. And by controlling the law, the scholars could limit the ability of the executive to expropriate the property of private citizens. This, in turn, induced the executive to rely on lawful taxation to raise revenues, which itself forced the rulers to be responsive to their subjects’ concerns. The scholars and their law were thus absolutely essential to the tremendous success that Islamic society enjoyed from its inception into the 19th century. Without Shariah, there would have been no Haroun al-Rashid in Baghdad, no golden age of Muslim Spain, no reign of Suleiman the Magnificent in Istanbul.

For generations, Western students of the traditional Islamic constitution have assumed that the scholars could offer no meaningful check on the ruler. As one historian has recently put it, although Shariah functioned as a constitution, “the constitution was not enforceable,” because neither scholars nor subjects could “compel their ruler to observe the law in the exercise of government.” But almost no constitution anywhere in the world enables judges or nongovernmental actors to “compel” the obedience of an executive who controls the means of force. The Supreme Court of the United States has no army behind it. Institutions that lack the power of the sword must use more subtle means to constrain executives. Like the American constitutional balance of powers, the traditional Islamic balance was maintained by words and ideas, and not just by forcible compulsion.

So today’s Muslims are not being completely fanciful when they act and speak as though Shariah can structure a constitutional state subject to the rule of law. One big reason that Islamist political parties do so well running on a Shariah platform is that their constituents recognize that Shariah once augured a balanced state in which legal rights were respected.

From Shariah to Despotism

But if Shariah is popular among many Muslims in large part because of its historical association with the rule of law, can it actually do the same work today? Here there is reason for caution and skepticism. The problem is that the traditional Islamic constitution rested on a balance of powers between a ruler subject to law and a class of scholars who interpreted and administered that law. The governments of most contemporary majority-Muslim states, however, have lost these features. Rulers govern as if they were above the law, not subject to it, and the scholars who once wielded so much influence are much reduced in status. If they have judicial posts at all, it is usually as judges in the family-law courts.

In only two important instances do scholars today exercise real power, and in both cases we can see a deviation from their traditional role. The first is Iran, where Ayatollah Khomeini, himself a distinguished scholar, assumed executive power and became supreme leader after the 1979 revolution. The result of this configuration, unique in the history of the Islamic world, is that the scholarly ruler had no counterbalance and so became as unjust as any secular ruler with no check on his authority. The other is Saudi Arabia, where the scholars retain a certain degree of power. The unfortunate outcome is that they can slow any government initiative for reform, however minor, but cannot do much to keep the government responsive to its citizens. The oil-rich state does not need to obtain tax revenues from its citizens to operate — and thus has little reason to keep their interests in mind.

How the scholars lost their exalted status as keepers of the law is a complex story, but it can be summed up in the adage that partial reforms are sometimes worse than none at all. In the early 19th century, the Ottoman empire responded to military setbacks with an internal reform movement. The most important reform was the attempt to codify Shariah. This Westernizing process, foreign to the Islamic legal tradition, sought to transform Shariah from a body of doctrines and principles to be discovered by the human efforts of the scholars into a set of rules that could be looked up in a book.

Once the law existed in codified form, however, the law itself was able to replace the scholars as the source of authority. Codification took from the scholars their all-important claim to have the final say over the content of the law and transferred that power to the state. To placate the scholars, the government kept the Shariah courts running but restricted them to handling family-law matters. This strategy paralleled the British colonial approach of allowing religious courts to handle matters of personal status. Today, in countries as far apart as Kenya and Pakistan, Shariah courts still administer family law — a small subset of their original historical jurisdiction.

Codification signaled the death knell for the scholarly class, but it did not destroy the balance of powers on its own. Promulgated in 1876, the Ottoman constitution created a legislature composed of two lawmaking bodies — one elected, one appointed by the sultan. This amounted to the first democratic institution in the Muslim world; had it established itself, it might have popularized the notion that the people represent the ultimate source of legal authority. Then the legislature could have replaced the scholars as the institutional balance to the executive.

But that was not to be. Less than a year after the legislature first met, Sultan Abdulhamid II suspended its operation — and for good measure, he suspended the constitution the following year. Yet the sultan did not restore the scholars to the position they once occupied. With the scholars out of the way and no legislature to replace them, the sultan found himself in the position of near-absolute ruler. This arrangement set the pattern for government in the Muslim world after the Ottoman empire fell. Law became a tool of the ruler, not an authority over him. What followed, perhaps unsurprisingly, was dictatorship and other forms of executive dominance — the state of affairs confronted by the Islamists who seek to restore Shariah.

A Democratic Shariah?

The Islamists today, partly out of realism, partly because they are rarely scholars themselves, seem to have little interest in restoring the scholars to their old role as the constitutional balance to the executive. The Islamist movement, like other modern ideologies, seeks to capture the existing state and then transform society through the tools of modern government. Its vision for bringing Shariah to bear therefore incorporates two common features of modern government: the legislature and the constitution.

The mainstream Sunni Islamist position, found, for example, in the electoral platforms of the Muslim Brotherhood in Egypt and the Justice and Development Party in Morocco, is that an elected legislature should draft and pass laws that are consistent with the spirit of Islamic law. On questions where Islamic law does not provide clear direction, the democratically chosen legislature is supposed to use its discretion to adopt laws infused by Islamic values.

The result is a profound change in the theoretical structure underlying Islamic law: Shariah is democratized in that its care is given to a popularly elected legislature. In Iraq, for example, where the constitution declares Shariah to be “the source of law,” it is in principle up to the National Assembly to pass laws that reflect its spirit.

In case the assembly gets it wrong, however, the Islamists often recommend the judicial review of legislative actions to guarantee that they do not violate Islamic law or values. What is sometimes called a “repugnancy clause,” mandating that a judicial body overturn laws repugnant to Islam, has made its way into several recent constitutions that seek to reconcile Islam and democracy. It may be found, for example, in the Afghan Constitution of 2004 and the Iraqi Constitution of 2005. (I had a small role advising the Iraqi drafters.) Islamic judicial review transforms the highest judicial body of the state into a guarantor of conformity with Islamic law. The high court can then use this power to push for a conservative vision of Islamic law, as in Afghanistan, or for a more moderate version, as in Pakistan.

Islamic judicial review puts the court in a position resembling the one that scholars once occupied. Like the scholars, the judges of the reviewing court present their actions as interpretations of Islamic law. But of course the judges engaged in Islamic judicial review are not the scholars but ordinary judges (as in Iraq) or a mix of judges and scholars (as in Afghanistan). In contrast to the traditional arrangement, the judges’ authority comes not from Shariah itself but from a written constitution that gives them the power of judicial review.

The modern incarnation of Shariah is nostalgic in its invocation of the rule of law but forward-looking in how it seeks to bring this result about. What the Islamists generally do not acknowledge, though, is that such institutions on their own cannot deliver the rule of law. The executive authority also has to develop a commitment to obeying legal and constitutional judgments. That will take real-world incentives, not just a warm feeling for the values associated with Shariah.

How that happens — how an executive administration accustomed to overweening power can be given incentives to subordinate itself to the rule of law — is one of the great mysteries of constitutional development worldwide. Total revolution has an extremely bad track record in recent decades, at least in majority-Muslim states. The revolution that replaced the shah in Iran created an oppressively top-heavy constitutional structure. And the equally revolutionary dreams some entertained for Iraq — dreams of a liberal secular state or of a functioning Islamic democracy — still seem far from fruition.

Gradual change therefore increasingly looks like the best of some bad options. And most of today’s political Islamists — the ones running for office in Morocco or Jordan or Egypt and even Iraq — are gradualists. They wish to adapt existing political institutions by infusing them with Islamic values and some modicum of Islamic law. Of course, such parties are also generally hostile to the United States, at least where we have worked against their interests. (Iraq is an obvious exception — many Shiite Islamists there are our close allies.) But this is a separate question from whether they can become a force for promoting the rule of law. It is possible to imagine the electoral success of Islamist parties putting pressure on executives to satisfy the demand for law-based government embodied in Koranic law. This might bring about a transformation of the judiciary, in which judges would come to think of themselves as agents of the law rather than as agents of the state.

Something of the sort may slowly be happening in Turkey. The Islamists there are much more liberal than anywhere else in the Muslim world; they do not even advocate the adoption of Shariah (a position that would get their government closed down by the staunchly secular military). Yet their central focus is the rule of law and the expansion of basic rights against the Turkish tradition of state-centered secularism. The courts are under increasing pressure to go along with that vision.

Can Shariah provide the necessary resources for such a rethinking of the judicial role? In its essence, Shariah aspires to be a law that applies equally to every human, great or small, ruler or ruled. No one is above it, and everyone at all times is bound by it. But the history of Shariah also shows that the ideals of the rule of law cannot be implemented in a vacuum. For that, a state needs actually effective institutions, which must be reinforced by regular practice and by the recognition of actors within the system that they have more to gain by remaining faithful to its dictates than by deviating from them.

The odds of success in the endeavor to deliver the rule of law are never high. Nothing is harder than creating new institutions with the capacity to balance executive dominance — except perhaps avoiding the temptation to overreach once in power. In Iran, the Islamists have discredited their faith among many ordinary people, and a similar process may be under way in Iraq. Still, with all its risks and dangers, the Islamists’ aspiration to renew old ideas of the rule of law while coming to terms with contemporary circumstances is bold and noble — and may represent a path to just and legitimate government in much of the Muslim world.

Noah Feldman, a contributing writer for the magazine, is a law professor at Harvard University and an adjunct senior fellow at the Council on Foreign Relations. This essay is adapted from his book “The Fall and Rise of the Islamic State,” which will be published later this month.


http://www.nytimes.com/2008/03/16/magazine/16Shariah-t.html?_r=3&ref=world&pagewanted=all

Friday 5 November 2010

Tidak Boleh Puasa Penuh 1-9 Dzulhijjah?

Wallahu a'lam, bisa jadi memang ada pendapat yang melarang puasa full tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah.

Namun, kali ini mari kita lihat dalil-dalil yang menguatkan dibolehkannya/disyariatkannya puasa dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah.

1. "Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun" [HR.al-Bukhari]

Hadis ini menunjukkan keumuman anjuran untuk memperbanyak ibadah di 10 hari pertama Dzulhijjah. Jika dikatakan puasa hanya dibatasi pada tanggal 9 Dzulhijjah (puasa 'arafah), karena dianggap tidak ada contoh dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang puasa di hari-hari lainnya, maka batasan ini selayaknya diperlakukan pula pada tilawah, dzikir, sedekah, dan semisalnya, karena tidak ada contoh bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperbanyak tilawah, dzikir, dan sedekahnya pada 10 hari tersebut.

2. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan hadis dari 'Aisyah, "Tidak pernah aku lihat Rasulullah berpuasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah", dalam riwayat lain, "Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah melakukan puasa selama 10 hari (pertama dalam Dzulhijjah).

Namun ternyata dalam kitab Tamamul Minnah Shahih Fiqh Sunnah karya asy-Syaikh Abu Abdurrahman, hadis tersebut dijelaskan dengan perkataan 2 ulama ahli hadis besar sebagai berikut:

- an-Nawawi : "Yakni (nabi -red) tidak berpuasa karena adanya halangan sakit, safar, atau selainnya....." [Syarh an-Nawawi].

- Ibnu Hajar : "Kemungkinan hal itu beliau tinggalkan padahal beliau ingin mengamalkannya karena khawatir difardhukan bagi umatnya" [Fathul- Bari].

Berdasarkan penjelasan ini, jelas bahwa al-Imam an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar termasuk di antara yang mendukung pensyariatan/penyunnahan puasa dari tanggal 1-9 Dzulhijjah.

3. Selain 2 ulama salaf tersebut, ada pula 3 ulama kontemporer;
- asy-Syaikh Abdul Azhim al-Khalafi dengan kitab al-Wajiz-nya
- asy-Syaikh Wahbah al-Zuhayli dengan kitab Fiqh Imam Syafii-nya,
- asy-Syaikh al-Utsaimin dengan Syarah Riyadhush-Shalihin-nya, yang menjadikan puasa di 10 hari pertama Dzulhijjah (minus hari raya-nya) sebagai bagian dari puasa-puasa sunnah dalam Islam.

4. Hal menarik didapatkan di kitab Nailul-Authar karya al-Imam asy-Syaukani. Diriwayatkan dari Hafshah radhiallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan puasa 10 pertama dzulhijjah [HR. Ahmad dan Nasa'i]

5. Juga dalam kitab Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, selain disebutkan hadis Hafshah di atas dalam bab Puasa Sunnah, juga disebutkan hadis dari Abu Hurairah tentang nilai 1 hari puasa di 10 hari pertama dzulhijjah sama dengan puasa 1 tahun [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, at-Tirmidzi mengatakannya hasan gharib].

Hadis terakhir di atas kembali menguatkan tentang keumuman memperbanyak ibadah (puasa) di 10 hari pertama Dzulhijjah (minus hari raya). Oleh karena itu, marilah kita memperbanyak amal ibadah kita, termasuk puasa, di hari-hari pertama dzulhijjah yang akan dimulai sebentar lagi (Ahad atau Senin).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah lebih utama daripada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam (pertama) bulan Dzulhijjah.” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah]

Muridnya, Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menyatakan,” Ini menunjukkan bahwa sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan menjadi lebih utama karena adanya Laitatul Qadr, dan Lailatul Qadr ini merupakan bagian dari waktu-waktu malamnya, sedangkan sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah menjadi lebih utama karena hari-harinya (siangnya), karena didalamnya terdapat yaumun Nahr (hari berkurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari ke delapan Dzulhijjah). [Zadul Maa’ad]

Wallahu a'lam

Wednesday 3 November 2010

Gak Pergi Haji tapi Haji Mabrur?

Kok bisa? Ya bisa aja, Allah kan Maha Berkehendak. Apalagi sudah dibuktikan dengan kisah berikut... kisah yang sudah sangat masyhur.

Selamat menyantap

--------------sumber teks: dakwatuna.com------------------

Ibadah haji dan jihad fii Sabilillah adalah dua amal ibadah yg bernilai tinggi di sisi Allah. Atas dasar itulah, Syeikh Abdullah bin al-Mubarak selalu menunaikan dua hal tersebut, tahun ini naik haji, tahun berikutnya berangkat berjihad, demikianlah secara selang-seling selalu dilakukannya, betapapun sibuk menderanya.

Tibalah saatnya Abdullah bin al-Mubarak berangkat haji. Setelah bekerja keras Abdullah bin Mubarak berhasil mengumpulkan bekal tak kurang 500 dinar uang emas. Dari kediamannya di Hijaz beliaupun pun berangkat menuju Makkah al Mukarramah.

Pada suatu waktu, setelah selesai menunaikan tahap demi tahap rangkaian ibadah haji, beliau tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” Tanya malaikat kepada malaikat lainnya.

“600.000,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”

Percakapan ini membuat Abdullah gemetar.
“Apa?” Beliaupun menangis.
“Semua orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?” Pikir Ibnu Mubarak sedih

“ Kecuali hanya seorang tukang sepatu di Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq.” Kata malaikat yang pertama.

“Dia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Bahkan berkat dialah ibadah seluruh jamaah haji ini diterima oleh Allah.” Lanjut malaikat pertama menerangkan.

Ketika Abdullah Ibnu Mubarak mendengar percakapannya itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat ke Damasykus mencari orang yang bernama Ali bin Muwaffaq itu. Dia telusuri tempat tinggal Muwaffaq sampai beliau temukan. Dan ketika diketuk pintunya, keluarlah seorang lelaki dan segera ia bertanya tentang namanya.

“Assalamu ‘alaykum warahmatullahi wabarakatuh!” Sapa Ibnu Mubarak sambil mengetuk pintu.

“Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?” Tanya Ibnu al-Mubarak kepada lelaki yang ditemuinya.

“Aku Ali bin Muwaffaq, penjual sepatu. Siapakah Anda?”

Kepada lelaki itu Ibnu al-Mubarak menerangkan jadi dirinya dan maksud kedatangannya. Setelah tahu siapa yang datang serta maksud dan tujuannya. Tiba-tiba Muwaffaq menangis dan jatuh pingsan.

Ketika sadar, Ibnu Mubarak memohon agar Muwaffaq berkenan untuk menceritakan semua yang dia alami terkait dengan hajinya. Dia mengatakan bahwa selama 40 tahun dia telah rindu untuk melakukan perjalanan haji ini. Untuk itu telah terkumpul dana sebanyak 350 dirham dari hasil berdagang sepatu. Maka tahun ini dia memutuskan untuk pergi ke Mekkah.

Suatu hari istrinya yang sedang hamil mencium aroma sedap makanan yang sedang dimasak tetangga sebelah rumahnhya. Kemudian si istri memohon kepadanya agar ia bisa mencicipinya sedikit. Lalu Muwaffaq pergi menuju tetangga sebelah, mengetuk pintunya kemudian menjelaskan situasinya.

Saat Muwaffaq mengutarakan maksud kedatangannya, tetangga itupun mendadak menagis.

“Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya.
“Hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan memotongnya kemudian memasaknya untuk mereka. Ini bukan makanan yang halal bagimu.” Terang tetangganya sambil menangis.

Saat mendengar cerita itu hati Muwaffaq serasa terbakar. Maka tabungan yang terkumpul untuk berhaji sebanyak 350 dirham diberikan kepadanya.

“Belanjakan ini untuk anakmu,” kata Muwaffaq.
“Inilah perjalanan hajiku.” kata Muwaffaq dalam hati.

“Malaikat berbicara dengan nyata di dalam mimpiku,” kata Abdullah Ibnu Mubarak selepas menemui Muwaffaq.

“Dan Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusanNya.”

------------------------------------------



Jadi, bisa kan haji mabrur tanpa pergi haji. Asal usahanya jelas, udah niat, udah belajar, udah nyetor. Berangkat gak berangkat sih belakangan.

Kesimpulannya tetep,
Nyetorr !!! alias Usaha !!!

(^_^)


Kitab Hadits Online Terjemah Indonesia

http://lidwa.com/app/
Beberapa waktu lalu, masih ada kesalahan tampil di sana-sini, alhamdulillah sekarang sudah top markotop lumayanlah.. :)

Bagi yg mau install langsung software-nya, ada jg versi beli, 150.000 rupiah saja.. (tampilannya masih lebih enak yang beli ;-)

Ohya, database ini jg dilengkapi dengan data perawi dan pendapat sebagian ulama ttgnya, serta opsi hadis yang terkait. Selamat bereksplorasi.

Semoga usaha ini bisa dilanjutkan dengan terjemahan kitab2 lainnya dan disajikan online. Amiin

Rhum Itu Haram Lho!

Fatwa MUI tentang haramnya rhum setahu saya dah lama, tp entah mengapa kok masih ditemukan orang-orang yg kesannya gak pedul, dengan berbagai dalihnya, "ini rhum kue", "ini alkoholnya 0% ", dll...

Untuk mensosialisasikan kembali, berikut kutipan berita seputar rhum, yang difatwakan haram oleh MUI, baik rhumnya itu sendiri maupun perasa rhumnya.

-----------------

Pernah mencicipi kue sus atau cake yang lezat dan harum dari cake shop atau hotel terkenal? Perhatikan seksama aroma dan rasanya. Ada aroma harum yang menusuk hidung dan rasa yang agak dingin. Ya. Itulah rhum, salah satu bahan tambahan dalam membuat kue.

Kue-kue dari hotel dan bakery terkenal kerap menggunakannya dalam taart, dan sus. Vla di dalam sus menjadi lebih lezat bila dicampurkan rhum. Cake aneka buah juga biasanya menggunakan rhum. Biasanya sebelum dicampur ke dalam cake, buah direndam dulu ke dalam rhum agar aromanya menjadi lebih menggugah selera.

Rhum menurut relawan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Kosmetika dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), KA Endin, digolongkan ke dalam khamr. Kandungan alkoholnya cukup tinggi. Karena itu fatwanya pun jelas: haram. ''Sedikit atau banyak, khamr itu haram hukumnya,'' kata Endin ketika ditemui di kantornya Jumat (26/7).

Seperti rhum, mirin atau berbagai cairan yang tergolong arak juga haram hukumnya. Kandungan alkoholnya cukup tinggi, mencapai 60 persen. Arak merupakan produk fermentasi yang juga menghasilkan alkohol cukup tinggi. Fatwa MUI menyebutkan kandungan alkohol di bawah satu persen pun --karena sudah diencerkan-- hukumnya tetap sama: haram.

''Berbeda dengan alkohol yang merupakan komponen tunggal atau murni seperti dalam buah,'' ujarnya lagi. Buah durian dan jeruk termasuk kategori buah yang mengandung alkohol dalam jumlah kecil yakni di bawah satu persen. Karena murni, maka durian dan jeruk boleh dikonsumsi. Fatwa MUI menyebutkan alkohol merupakan fenomena dalam alam.

Konsumen di Indonesia tergolong tidak berhati-hati. Beraneka ragam cake dan roti yang menggunakan campuran rhum. Tanpa peduli bahan pembuatnya, masyarakat langsung menyantapnya. Yang menyedihkan, kata Endin, konsumen bahkan tak tahu komponen pembuat kue atau roti.

Padahal bila tahu, ada kemungkinan umat Islam lebih hati-hati mengonsumsi makanan. Rhum baru terasa bila dimakan atau dicium terlebih dahulu. Hampir tak ada kue-kue jajan pasar atau cake buatan bakery ternama yang mencantumkan komposisi bahan dasar pembuat kue.

Seperti rhum, mirin pun bukan hal aneh bagi umat Islam di Indonesia. Asalnya memang dari Jepang. Makanan Jepang seperti beef teriyaki, sukiyaki, atau olahan daging lain kerap menggunakan mirin. Arak beras dari negeri matahari terbit ini menjadi biasa di lidah orang Indonesia dengan hadirnya restoran makanan Jepang cepat saji.

Restoran tersebut belum memiliki sertifikat halal. Namun pengunjungnya berlimpah. Jangan tanya agama. Pasti Muslim yang terbanyak. Mirin memang hanya salah satu bahan pencampur. Kita bahkan tak tahu bahan utama. Barangkali banyak juga yang menggunakan barang haram lain.

''Banyak sekali hal-hal subhat di sekitar kita. Yang haram pun banyak,'' kata Endin. Dan dia merasa aneh ketika lembaga konsumen dan bahkan sebagian besar Muslim justru menganjurkan agar mencantumkan label haram dan bukan halal dengan alasan lebih banyak produk yang halal dari yang haram.

Untuk menyiasati konsumen yang tak mau memakai rhum, produsen menciptakan flavor (essence) rhum dan perasa buah lainnya. Benda tersebut diklaim bukan rhum. Hanya rasa dan aromanya menyerupai rhum asli. Adakah flavor itu sekadar persamaan rasa?

Tidak. Jurnal Halal LPPOM MUI edisi Juli-Agustus 2002 menyebut dua alasan yang menjelaskannya. Pertama, hukum asal dari mengonsumsi minuman keras jenis bir, arak, dan rhum haram hukumnya. Karena itu, menciptakan flavor yang hukum asalnya haram, adalah haram. Sekalipun tak ada kandungan haram di dalamnya.

Sama saja dengan rasa babi. Karena babi haram, maka flavor babi atau bahan makanan dengan rasa babi pun haram hukumnya.

Yang kedua, flavor rhum ternyata masih menggunakan alkohol sebagai pelarut. Dan ini dijumpai hampir pada seluruh flavor rhum yang dijumpai di pasaran.

Flavor rhum bukanlah satu-satunya perasa yang menggunakan alkohol. Flavor buah atau flavor vanila, coklat, atau kopi rupanya juga menggunakan alkohol sebagai pelarut. Apalagi menurut penelitian LPPOM MUI kandungan alkohol pada flavor buah pada botol ukuran kecil mencapai 7 persen. Tentu saja hukumnya pun menjadi haram.

Selain mengandung alkohol, essence juga ada yang dibuat dari unsur binatang seperti berang-berang dan civet. MUI menyatakan perasa yang mengandung kedua binatang tersebut haram hukumnya.

Menyantap roti pun tak boleh sembarang, meskipun makanan tersebut juga sudah sangat populer di Indonesia. Ada banyak kandungan yang tak jelas di dalamnya. Bahan pengembang roti ternyata ada yang terbuat dari rambut manusia. Aneh memang. Tapi ini diakui Endin yang sebelumnya berkecimpung di Pertamina.

Adonan roti membutuhkan pengembang. Dan rambut mengandung protein yang cukup tinggi yang bisa melembutkan dan mengembangkan kue dengan cukup baik yang disebut cestein. Produk yang sudah mendapat sertifikat halal umumnya sudah mengubah cestein dengan pelembut dari rumput laut.

Sementara mentega dan keju dari luar negeri kerap menggunakan pengental dari renet yang terbuat dari lemak di dalam perut babi. Renet itu bukan pembuat keju. Fungsinya hanya untuk mengentalkan susu yang akan dibuat keju atau mentega. ''Kita punya asas intifak. Benda yang haram, maka pemanfaatan apa pun dari benda haram itu haram hukumnya.''  tid/dokrep/
Agustus 2002

sumber : http://koran.republika.co.id/berita/16114/Berhati_hati_dengan_Rhum_dan_Flavor_Rhum

Tuesday 2 November 2010

Di antara Gaya Kita dalam Berdoa

Di dunia yang semakin banyak unsur mayanya ini, aktivitas pergaulan kita memang tidak bisa dilepaskan dari milis-milis dan forum di internet. Salah satu fenomena yang muncul di kavling-kavling maya tersebut adalah aktivitas saling berbalas doa ketika ada info musibah/kabar gembira dari salah satu penduduk kavling.

Secara pribadi, saya merasa termasuk yang sering absen di aktivitas warga tersebut. Mungkin ada unsur kemalasan menggerakkan jari -walaupun lidah dan hati selalu diusahakan agar merespon-. Tapi ada alasan lain, yang sering membuat saya absen di aktivitas tersebut.

Sebagaimana disebutkan oleh orang yang paling berpengaruh di dunia, salah satu hal yang menjadikan doa itu (lebih) makbul adalah doa terhadap saudara muslim tanpa sepengetahuannya.

Doa seorang Muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang mustajab. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan bagimu hal yang sama”
[HR. Muslim dari Ummud Darda’]

Lalu apakah serta merta aktivitas berbalas doa ini menjadi kurang keren? Ya tidak juga.

Ada seorang laki-laki berada di dekat Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kepadanya lewat seorang laki-laki lain. Laki-laki yang di dekat Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Wahai Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sungguh aku mencintainya." Maka Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau sudah memberitahukannya?" Ia menjawab, "Belum" Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Beritahukanlah kepadanya" Kemudian ia mengikutinya dan berkata, "Sungguh aku mencintaimu karena Allah." Laki-laki itu pun berkata: "Semoga engkau dicintai Allah, yang karena-Nya engkau mencintaiku." 
[HR. Abu Dawud dari Anas bin Malik]

Nah, di dunia maya ini para penduduknya juga perlu tahu bahwa mereka dicintai tetangga-tetangganya. Menyedihkan tentu, ketika ada info musibah/kabar gembira salah satu penduduk, tidak ada satu pun yang merespon secara publik :)

Selain itu, manusia paling sholeh di muka bumi pun mewariskan doa-doa dengan lafazh tujuan orang kedua, sebagai bentuk ajaran publikasi doa. Misalnya doa selamat pernikahan yang berbunyi,

Barakallahu laKA wa baraka 'alayKA wa jama'a baynaKUMA fi khayr.

(Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan)
[lihat Hisnul Muslim, asy-Syaikh al-Qahthani)

Adapun sebagai bentuk ajaran tidak mempublikasikan doa, salah satunya tersirat dalam warisannya yang lain, seperti doa ketika disuguhkan makanan (dijamu),

Allahumma bariklaHUM fi ma razaqtaHUM waghfirlaHUM warhamHUM

(Ya Allah berkahilah MEREKA dalam apa-apa yang Engkau rizkikan untuk MEREKA, dan ampunilah MEREKA, serta kasihilah MEREKA)
[lihat Hisnul Muslim, asy-Syaikh al-Qahthani)

Jadi, setidaknya ada 2 gaya (atau 3 jika memasukkan "gaya pertengahan" :), dalam mengikuti salah satu aktivitas warga kavling maya ini. Apapun gaya pilihan kita, yang sebaiknya dihindari adalah perasaan "selesai kewajiban" dengan hanya berpartisipasi di aktivitas tersebut.

Jika perasaan cinta itu sungguh, seharusnya keinginan mendoakan itu juga terbawa ke dunia nyata. Keinginan saudara kita sembuh dari sakitnya, dilapangkan kesempitannya, ataupun ditambah kebaikannya juga terbawa dalam doa-doa kita di dunia nyata, selepas sholat misalnya. Jika demikian yang terjadi, maka bolehlah kita berharap malaikat di kepala kita berkata, "Amin, walaka bi mitslin" (Amin, dan bagimu hal yang sama).

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ آمَنُو


“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Hasyr: 10)


Wallahu a'lam
Wallahul-musta'an