Wednesday 18 May 2011

Berlebihan dalam Mendukung Dinar Emas

Akhirnya ada kesempatan juga ke toko buku tuk mencari buku Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia (TSBSI). Buku ini pada secara garis besar mengkritik bank syariah di Indonesia dari segi praktik produk-produknya dan penggunaan uang kertas dalam transaksi. Berikut komentar saya mengenai poin terakhir, setelah membaca sekilas buku tersebut.

Dalam TSBSI tertulis:

“Ketetapan zakat mal hanya dikenakan pada emas dan perak, dan pembayarannya pun hanya sah dengan emas (dinar) dan perak (dirham).”

Ini adalah pendapat berlebihan dari orang-orang yang berlebihan. Pendapat ini dibantah oleh asy-Syaikh al-Qardhawi dalam salah satu bukunya, dengan mengatakan di antaranya bahwa bagaimana mungkin mereka tidak mengambil zakat dari uang kertas sedangkan mereka mengambil manfaat dari uang tersebut dengan membelanjakannya untuk berbagai keperluan? (referensi lengkapnya insya Allah menyusul, bukunya lagi dipinjem :)

Selain menganggap zakat hanya wajib pada dan dengan emas (dinar) dan perak (dirham), TSBSI juga mengatakan bahwa uang kertas adalah riba. Lebih lanjut dalam pembahasan uang kertas dan zakat mal, TSBSI mengangkat pendapat Mazhab yang mendukung bahwa tidak diakuinya uang kertas dalam Islam dan haramnya uang selain dinar dan dirham.

Yang membuat saya langsung bertanya-tanya terhadap pembahasan pendapat Mazhab ini adalah:

Hanya dikutipnya 3 Mazhab (Syafii, Maliki, dan Hanafi);

Dan dari masing-masing mazhab hanya diambil pendapat 1 ulama;

Dan pendapat yang secara tegas mengharamkan uang selain dinar (emas) dan dirham (perak) hanya dari Imam Abu Yusuf (mazhab Hanafi).

Sekarang mari kita lihat bagaimana pendapat para ulama lain;

Al-Baladzariyyi mengatakan: “Sesungguhnya Umar bin Khattab pernah berkata: ‘Saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang berkata: ‘kalau begitu unta akan punah.’ Maka aku batalkan keinginan tersebut’ “ (Al-Baladzari, al-Buldan wa Futuhuha wa Ahkamuha, hlm.515)

Imam Malik (r.a.) menjelaskan: “Apabila kulit telah menjadi uang resmi di mata al-’urf (budaya -red) dan pasar, maka uang tersebut hukumnya sama dengan uang dari emas dan perak.

Disebutkan dalam kitab Al-Mudawwanah: “Apabila pasar telah menjadikan kulit sebagai mata uang, maka aku tidak senang kulit tersebut dijual dengan emas dan perak” (Al-Imam Malik, al-Mudawwanah, juz 3 hlm 5)

Ibnu Taimiyyah (ulama Hanbali) mengatakan: “Tidak ada standar alam dan agama yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur pada pada dinar dan dirham, tetapi standar itu dapat diukur melalui adat dan istilah pasar. Sebab, pada dasarnya tujuan utama bukanlah pada kebendaan, tetapi yang dimaksudkan adalah benda tersebut sebagai ukuran untuk setiap transaksi. (Ibnu Taimiyyah, Fatawa Ibnu Taimiyyah, juz 19, hlm 251)

Al-Zaila’i (ulama Hanafi) mengatakan: “Yang menjadi ukuran adalah al-‘urf, maka setiap apa pun yang menurut al-‘urf sebagai perantara transaksi, bisa dianggap sebagai nilai harga.” (Al-Zaila’i, Tabyiinu al-Haqa’iq, juz 3, hlm 317)

Ibnu Hajar (ulama Syafii) mengatakan: “Boleh hukumnya muamalah dengan al-magsyusah, sekalipun dengan tanggungan al-dzimmah (jaminan) tanpa harus mengetahui kadar campuran yang ada pada uang tersebut, sebab yang menjadi standar adalah al-‘urf. Maka dari itu, apabilah fulus berlaku di pasar, sebagaimana halnya dinar dan dirham, maka hukumnya dapat disamakan. (Ibnu Hajar, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz 2, hlm 182)

Jelas sekali bahwa masalah uang kertas ini bukan masalah sederhana dan hukumnya tidak tegas dalam Islam. Dr. Ahmad Hasan dalam bukunya Mata Uang Islami (Al-Auraq Al-Naqdiyah fi Al-Iqtishad Al-Islamy) mengatakan bahwa tidak ada dalil tegas yang mengatakan bahwa uang dalam Islam hanyalah emas (dinar) dan perak (dirham). Kutipan dari perkataan Amirul-Mukminin Umar bin Khattab di atas menguatkan tidak adanya dalil tersebut.

Lebih jauh lagi, mereka yang mengharamkan uang kertas bahkan mengatakannya sebagai riba (dan riba adalah dosa besar), maka perlu konsisten dengan pendapat mereka untuk tidak menggunakan uang kertas kecuali terpaksa.

Sesuatu disebut terpaksa ketika sangat dibutuhkan dan tidak ada pilihan lain. Babi menjadi halal ketika kita sangat lapar dan tidak ada pilihan lain. Jika hanya “tidak ada pilihan lain”, tapi kita “tidak lapar”, maka babi tetap haram. Begitu juga dengan uang kertas ini. Jika menganggapnya haram, maka sekedar menggunakannya untuk membeli es krim, sebungkus cemilan, bayar pulsa hp, biaya listrik nonton TV, jalan-jalan naik angkutan umum, dsb tentu menjadi haram juga. Sekali lagi, makan riba adalah dosa yang sangat besar, mereka yang meyakini uang kertas sebagai riba maka harus konsisten tuk tidak menggunakannya kecuali benar-benar terpaksa.

Perlu saya katakan bahwa saya termasuk yang mendukung diberlakukannya uang riil (bukan uang fiat/kertas seperti sekarang) baik berupa emas (dinar) maupun perak (dirham). Namun dukungan saya lebih pada kajian akademis, karena memang dalam kajian fikih tidak ada ketegasan dalil al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah uang ini.

Wallahu a’lam

No comments:

Post a Comment